Satu : Pluie

21 10 0
                                        

Mentari memunculkan sinarnya, menghangatkan badan yang dingin. Pohon itu bergoyang, angin menghembuskan nafasnya. Ayah dan Ibunya selalu saja bertengkar, tapi dia sudah gak asing dengan itu. Gadis ini gak seperti anak yang menangis melihat kedua orang tuanya bertengkar. Entah kenapa itu bisa terjadi, memang sejak awal dia gak pernah merasa takut ketika ayah dan ibu bertengkar. Dia hanyalah gadis kecil berusia 16 tahun yang kuat.

Gak pernah takut, jarang peduli hanya waktu tertentu saat kesepian menghampiri, merasa sendiri. Ayah dan Ibu gak pernah melihat satu tetes air matanya jatuh sejak 7 tahun yang lalu. Mereka hanya memikirkan dirinya saja. Setiap hari mereka bertengkar, karena hal kecil seperti pakaian atau hal besar seperti cemburu yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.

Setiap detik ia hanya merasa sendiri, tidak terlalu suka dengan keramaian. Hanya mendengarkan musik, melukis, hanya itu kebiasaan dan juga hobi yang ia lakukan sehari-hari.

Arga adalah sahabatnya sejak kecil, hanya dia yang tahan dengan sikap si cewek yang aduhai sulit di tebak ini.

Dia tahu segalanya tentang gadis itu daripada orang tuanya sendiri. Mereka tak pernah bertengkar, Arga selalu mengalah, ia terlalu absurd dan humoris kelewat, setiap hari bukannya jika sedih saja sedang senang pun Arga selalu membuat lelucon yang jatohnya, lucu-lucu aneh gitu.

"Du, lo tau gak, kenapa panas banget hari ini?"

Tanya Arga, ia menghentikan langkah kakinya.

"Kenapa Ar?" Balas gadis itu menatap dengan aneh.

Arga menunjuk kearah lelaki yang ada di seberang jalan, "Lo liat kesana, cahaya mataharinya mantul ke kepala bapak yang botak itu. Jadi mataharinya ada dua, betul gak?".

Kami berdua tertawa melihat bapak yang botak itu, Arga memang pandai membuat lelucon. Seketika mata kami tertatap, aku lihat mata Arga yang sangat indah, matanya Arga coklat berbinar. Batinku bergetar.

Untuk kali ini seperti ada yang aneh, aku merasa seperti senang dan nyaman. Kami kembali memalingkan wajah ke arah bapak itu dan kemudian tertawa lagi.

Pulang sekolah dengan udara yang panas itu seketika menjadi perjalanan yang sejuk. Hujan turun saat kami berjalan diatas trotoar abu-abu itu. Berlari mencari tempat berteduh, tangan Arga menggenggam tanganku menarik supaya berlari cepat.

"Ayo Du, cepetan, hujannya makin deras"

Ucapnya melebarkan jaketnya keatas kepalaku, aku menolak, melepaskan tangan dari tarikannya. Mata Arga menatap dengan tajam, ia kembali menarik tangan mengajak untuk berlari menghindari hujan. Tapi aku kembali melepaskan genggaman itu.

Yah, gadis itu memilih menatap hujan, menadahkan wajahnya keatas, rintik hujan jatuh pada wajahnya yang mungil. Arga yang melihat itu aneh. Tapi ia tak memilih pergi meninggalkan gadis yang sedang bermain dengan hujan.

"Ar, lo kenapa ngajak gue lari. Ayo nikmati dulu hujan ini, jangan pernah lari dari hujan", ucap mulut gadis itu yang kecil, menatapnya dan menadahkan tangan ke hujan.

Butiran-butiran air menempel ditangannya. Tetes demi tetes membasahi kepala. "Nanti lo sakit Du, kalo lo main hujan. Lagi pula lo ga ngerasa kalo rintiknya nusuk pas jatuh mengenai badan lo?". Lelaki itu menarik tangan Rindu kembali.

"Lebay lo Ar, masa kena ginian aja lo keskitan. Kalo lo gak mau main hujan, pergi aja sana! Pulang duluan! Gue bisa kok pulang sendiri."

"Kalo itu yang lo mau. Oke, gue ikut lo. Gak mungkin gue ninggalin lo. Lo harus tau, gak mudah untuk nemuin cewek kayak lo". Arga melirik, menatap di balik rintik hujan.

Dari dulu tuh Arga gak pernah mau ninggalin Rindu sendiri padahal gadis itu udah kasar, bahkan gak pernah peduli sama cowok pembuat lelucon itu.

Arga biasanya memanggilnya dengan kata belakang yaitu Du. Hanya Arga yang memanggil namanya dengan kata belakang itu. Teman-teman sekolah, guru-guru, Ayah dan Ibu, tetangga, tak ada yang memanggilnya Du.

Menari-nari di bawah rintik hujan, jalanan yang sepi, hening, hanya ada Rindu dan Arga membuat mereka tak takut untuk berlari di atas aspal kelabu yang basah dengan gemericik hujan.

Kami hujan-hujanan menuju jalan pulang, aku gak mau memikirkan reaksi Ibu yang melihat badanku basah kuyup. Kami hanya bersenang-senang, senyum Arga dan garis lengkung ini menjadi satu. Kami benar-benar menikmati hujan yang turun.

"Semesta sedang bahagia Du," ucap Arga mengenggam tangan Rindu dan menatap sepasang mata berbinarnya.

"Kenapa Ar? Bukannya kalau lagi hujan semesta sedang menangis yah?"

Melepaskan genggaman Arga, berjalan di depannya. Arga berlari, melangkahkan kakiknya kehadapan Rindu yang mulai menjauh darinya, dan mereka kini saling berhadapan.

"Lo seneng gak Du, kalo lagi hujan gini?"

Tanya cowok itu dengan air hujan yang menjatuhinya dan menetes dari dagunya.

Seketika langkahnya terhenti, Rindu mengangguk menjawab pertanyaan cowok itu. Wajahnya kaku dan aneh, kenapa Arga menanyakan itu. Batinnya memberikan pertanyaan lagi.

Arga tersenyum, ia menaikkan dagunya yang licin terkena air hujan dan matanya kini mengerjap terkena air hujan yang membasahinya.

"Jadiin apa yang diberi oleh semesta itu punya lo,apa yang diberikan semesta itu baik buat lo. Hujan ini misalnya, lo suka sama hujan kayak gini. Anggep kalo semesta juga suka ngasih hujan ini ke lo,"

Rindu tersenyum, cowok ini paling bisa buat diri ini mengerti dan bahagia. Semesta sudah mendatangkan Arga ke hadapan Rindu. Rindu yang malang nasibnya ini sudah pandai bersyukur.

Terimakasih Tuhan, terimakasih semesta. Batinnya bersyukur, ia menadahkan wajahnya lagi ke arah hujan.

"Semoga Rindu bisa terus bersama Arga, yang penuh dengan bahagia"

Arga tersenyum, ia mengulurkan tangannya, mengajak untuk pulang. Meski dingin dan basah kuyup, tapi suasana masih tetap hangat karena kenyamanan yang diberikan oleh Arga.

Kami berhenti dicabang komplek, komplekku dan kompleknya berbeda. Berpisah di ujung jalanan komplek, kami sama-sama memberikan senyuman untuk perpisahan. Pluie { Hujan } yang membasahi dengan air 'kebahagiaan'.

SIU {Semesta Itu Unik}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang