1.3 - Barra

5.1K 625 120
                                    

Barra sudah ingin kembali melajukan mobil, tapi karena spontan peka atas kondisi Reifan yang masih betah memperhatikan Feby, Barra terpaksa menunggu.

Ketika Feby sudah menghilang di balik pintu rumah, baru Barra menjalankan mobil menuju rumahnya yang berjarak dua rumah dari rumah Feby. "Jadi mampir, Bang?" tanyanya, sudah mulai memasuki halaman rumah.

"Nggak. Tiba-tiba ada urgent di rumah. Lo aja yang datengin gue entar malam," jawab Reifan, sibuk dengan ponselnya.

Yah, malah gue yang repot. Hanya dalam hati Barra mengeluh. "Penting banget yang mau diomongin?"

"Pentinglah!" ujar Reifan, menatap tajam kepada Barra di sampingnya. "Entar gue kabarin kumpul di mana. Awas kalo lo berani nggak datang," lanjutnya, langsung keluar mobil tanpa merasa perlu berpamitan.

Barra mendesah kasar. Memperhatikan kepergian Reifan dari spion atas. "Lama-lama gue sinting ngehadapin orang lagi jatuh cinta. Perasaan gue nggak gitu-gitu amat."

Beberapa detik setelah bergumam kalimat tersebut, Barra langsung terdiam. Tampak kaget dengan ucapannya sendiri. "Nggak, gue nggak," sanggahnya, menolak fakta tersebut. Perkara yang telah membuatnya sering mengkhayal beberapa waktu belakangan.

"Kenapa kamu geleng-geleng gitu? Sakit kepala?"

Pertanyaan mamanya yang sedang duduk di depan meja makan, menyadarkan Barra dari keasyikannya menyangkal diri.

"Eh, nggak, Ma," sahut Barra, langsung canggung seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.

Seorang ibu yang mengenal seluk-beluk anaknya sendiri, tentu saja tidak percaya. Apalagi ABG seperti bungsunya itu. Sudah pasti sangat mencurigakan. Mama Barra menyipitkan mata. "Sekolah aman, kan?"

Barra mengernyit, heran dengan arah pembicaraan mamanya tapi tetap menjawab jujur. "Aman. Kok Mama gitu nanyanya?" balas Barra, tidak terima ketika sadar telah dicurigai.

"Nggak pa-pa," ujar mamanya, sudah tampak santai dan cuek. Gestur dan jawaban Barra barusan menunjukkan bahwa kondisi masih aman. Mungkin anak itu sedang pusing saja dengan tugas-tugas sekolahnya. "Buruan mandi, terus makan. Mama bikin sup daging kesukaan kamu," ujarnya, kembali melanjutkan menonton video memasak di youtube.

Mendengar sup daging, Barra langsung melupakan semua sanggahan hatinya. Bergerak cepat, dia segera menaiki tangga menuju kamarnya.

***

Barra menaikkan alisnya akibat heran. Personel lengkap. Semua teman dekat Reifan dan juga teman-temannya berkumpul di pojokan outdoor dari kafe yang dia datangi, basecamp yang sudah seperti tempat reguler untuk Reifan berkumpul dengan teman-temannya. Rafka bahkan tampak menyengir sangat menyebalkan sambil melambai kepadanya.

"Bentar," ucap Barra sambil kembali ke pintu yang menghubungkan bagian dalam dan luar kafe. Matanya mencari keberadaan pemilik kafe yang sudah akrab dengan mereka semua. Tampak pria berusia tiga puluhan tersebut juga sedang asyik berkumpul dengan kawan-kawannya di salah satu sudut kafe. Barra mendekatinya.

"Bang Alex," panggilnya, membuat para pria dewasa itu menatapnya. "Sori, tiba-tiba ganggu. Cuma mau nitip pesen. Gue kayaknya mau disidang. Entar kalo misal suara gue nggak muncul-muncul lagi, siap-siap panggil keamanan, ya,"

Beberapa teman Alex mengernyit heran, tapi Alex hanya mengacungkan salah satu jempol tangan dengan tampang santai. "Bilangin Reifan, kalo ada properti gue yang rusak, harus diganti dua kali lipat."

"Sip, aman!" sahut Barra, berpamitan dan kembali ke kafe bagian luar untuk mendatangi teman-temannya.

"Ngapain lo datengin Bang Alex?" selidik Reifan, sekilas menatap bagian dalam kafe yang hanya dibatasi kaca tembus pandang.

Pernah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang