Rafka bukan tipe yang sulit dalam hal makanan. Dia tidak pemilih. Dari yang level restoran mancanegara dengan harga selangit ataupun camilan receh harga seribuan, akan tetap dia makan dengan hati bahagia asalkan rasanya sesuai dengan lidah universal miliknya.
Malam ini pun begitu. Agar-agar merek lokal rasa cokelat yang harga sebungkusnya cuma dua ribu Rupiah, dapat membuat Rafka berbinar senang ketika sang mama menyajikannya pasca makan malam.
Padahal sebelumnya dia sudah menghabiskan dua piring pasta Fettucine Carbonara ditambah ayam goreng ala Upin dan Upin yang menjadi favoritnya, tapi Rafka yakin perutnya masih punya tempat untuk camilan buatan mamanya.
Sedangkan Reifan, sesuai statusnya sebagai anak sulung, dia bersikap jauh lebih tenang dan dewasa dibanding adiknya. Dia tidak akan mempermasalahkan apa pun kalau yang memasak adalah sang mama. Kalau masakan orang lain, lain lagi ceritanya.
Mama tidak kaget melihat porsi makan kedua anak lelakinya yang kadang diluar batas normal dirinya sebagai manusia biasa di rumah tersebut.
Anak-anaknya sedang masa pertumbuhan, jadi tidak ada alasan untuk membatasi apa yang mereka konsumsi selama bocah-bocah tersebut tetap menyukai aktivitas olahraga sebagai penyeimbang.
Kadang kala, Mama hanya memasak saja tanpa ikut memakan apa yang dia buat. Melihat suami dan anak-anaknya menikmati masakannya dengan lahap, sudah membuatnya bahagia dan ikut kenyang tanpa sadar.
Sama halnya saat ini, wanita itu duduk menatap semua pria di meja makan dengan dagu bersanggakan kedua tangan yang sikunya menempel di atas meja makan. Bibirnya tersenyum sayang dengan mata berbinar senang, ketika melihat pasukannya menikmati camilan sederhana yang dia buatkan.
"Bang?" panggil Mama kepada Reifan. Anak sulungnya itu makan dengan gaya tenang dan kalem, persis papanya.
Reifan berhenti menyuap agar-agar dan mendongak untuk menatap mamanya dengan tatapan bertanya.
"Adek gimana di sekolah?"
Rafka yang tadi tergesa makan karena ingin segera mengambil jatah lain dari sisa agar-agar di atas meja, ikut berhenti makan dan menatap mamanya. Merasa terpanggil.
Dengan wajah cemberut, dia mendahului Reifan berbicara, "Mama gitu terus tanyanya. Coba sekali-kali tanya sama adek, gimana Abang kalo di sekolah," keluhnya, lalu lanjut menyuap agar-agar dengan potongan besar.
"Bukan Abang yang ranking PTS-nya keluar dari sepuluh besar," sahut Mama, santai namun Rafka langsung merasa seperti terkena kagemane no jutsu, jurus bayangan Shikamaru, yang kini dikendalikan mata mamanya. Dia terdiam dengan sendok agar-agar yang masih berada di mulut.
Papa yang tadinya super santuy dan tidak peduli sekitar, langsung ikut berhenti menyantap camilan miliknya. Dengan gaya tenang, pria tersebut bertanya kepada istrinya, "Berapa, Sayang?"
"Sembilan belas," sahut mama, langsung mengerti apa yang ditanyakan suaminya. Matanya tidak beralih dari sang putra bungsu, masih mempertahankan jurus bayangan. "Bahkan ada satu mata pelajaran yang di bawah KKM, Kimia."
Rafka benar-benar berhenti beraktivitas. Sungguh dia telah salah duga. Dia pikir, pasca raport PTS (Penilaian Tengah Semester) dibagikan tadi siang dan mamanya terlihat santai, maka kondisi juga akan aman-aman saja, meski Rafka menyadari kalau dia telah membuat kekacauan terhadap nilainya sendiri.
Ternyata oh ternyata, mamanya tetap sosok paling manipulatif dan mengerikan kalau urusan membuatnya jera pasca mengacau.
Papa mengangguk-angguk pelan, melanjutkan suapannya dengan santai. "Ranking nggak bisa selalu jadi patokan buat melihat kemampuan anak. Apalagi kalau dominannya dari nilai pengetahuan aja. Nggak pa-pa, Adek masih bisa berusaha lagi. Masih ada waktu sebelum ulangan semester."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Muda
Teen FictionFeby masih polos. Rafka pura-pura polos. Barra ingin tetap polos. Andini menolak polos. Dirga ... absurd. Semua pernah menjadi muda. Lagu BCL, check! "Saatnya kau dan aku sekarang~~~"