Chapter 5

56 8 1
                                    

Issei tengah memandangi selembar peta yang sudah ditandai dengan titik merah di berbagai tempat, mencocokkan dengan data dari berlembar-lembar surat yang dikirim oleh sahabatnya—Hanamaki Takahiro—dan menggerakkan pena di tangannya untuk menyilang beberapa titik merah.

Tooru memang sangat pandai membuat orang lain sibuk di waktu-waktu penting, harusnya pemilik iris cokelat madu itu menyerahkan surat-suratnya begitu selesai dibaca, bukannya ditumpuk hingga tiga bulan lamanya. Dan laki-laki itu baru memberinya tugas ketika Issei harus melatih Tobio di waktu luang.

Ia kira surat dari Takahiro berhenti dikirim karena pemuda itu mangkir dari tugas, atau sedang terjebak suatu masalah.

Perhatiannya teralihkan saat pintu kamar diketuk perlahan, Issei tidak perlu repot-repot beranjak dari meja kerjanya karena pintu sudah dibuka oleh orang yang mengetuknya, sosok laki-laki bersurai cokelat muda masuk tanpa menunggu dipersilakan. Dia melepas sepatu dan langsung merebahkan diri di kasur.

Issei tak menyangka laki-laki itu sudah kembali, tapi Ia langsung pulih dari keterkejutan dan mengalihkan pandang pada peta.

"Kukira Kau sudah mati."

"Aku memang sudah mati. Hampir."

Dibanding dengan Tooru, sebenarnya Issei lebih dekat dengan Takahiro. Tapi spesialisasinya dalam penyamaran membuatnya sering menjalankan tugas selama berbulan-bulan di berbagai wilayah. Setiap misi yang dijalani membuatnya akrab dengan kematian, Takahiro harus siap bertemu kematian kapan saja saat identitas aslinya diketahui saat penyamaran, demi melindungi kerahasiaan.

Dan Tooru selalu memanfaatkan kemampuannya dengan sangat baik. Takahiro bahkan berpikir kalau-kalau sebenarnya Tooru memiliki dendam padanya karena pernah menaburi bubuk cabai di tengah roti isi kesukaannya, berakhir dengan kekalahan Tooru saat berduel dengan seorang Shirabu Kenjirou karena sedang diare.

Padahal sebelumnya dia sempat berkoar-koar bahwa Kenjirou hanyalah anak bau kencur, yang bahkan tidak akan bisa memotong sehelai rambutnya. Takahiro dan Issei terbahak begitu melihat Kenjirou menempelkan pedangnya pada leher Tooru. Keringat dingin menuruni pelipisnya, tapi daripada takut mati, ekspresi Tooru lebih seperti menahan apa pun itu yang hendak keluar dari perutnya.

Takahiro yakin sekali kejadian memalukan itu adalah motivasi terbesar Tooru untuk membuatnya mati muda.

"Aku menemukannya, Mattsun. Ternyata lebih mudah dari yang kukira."

"Kau baru kembali setelah pergi selama enam bulan, dan bilang itu mudah?"

"Yhah, habisnya. Kukira akan butuh waktu bertahun-tahun, atau bahkan sampai Aku mati untuk menemukan tempat itu. Awalnya, kan, Kupikir Oika-"

Takahiro menutup mulutnya sendiri saat merasakan tatapan menusuk yang diarahkan padanya, dia memasang ekspresi ceria untuk menutupi kekesalan.

"Kau beruntung karena cuma aku yang mendengarnya."

"Iya, iyaa, kupikir Tooru bercanda, Kau kan tahu sendiri, tempat itu hanya rumor untuk membesar-besarkan nama Karasuno. Kalau benar ada, juga, Karasuno kan sudah hancur. Jadi kukira semua tempat yang berhubungan juga sudah lenyap."

"Tapi kalau tidak begitu, namanya bukan Oikawa, ya?"

"Mattsun! Kau seenaknya menyebut nama itu, padahal tadi memperingatiku sampai sebegitunya."

"Soalnya, kalau dipikir lagi, tadi itu aku berlebihan, kan? Toh di sini, cuma kita berdua."

"Yah, kalau ada Ushijima juga tidak masalah, sih. Kan dari awal juga dia sudah tau. Aku malah jadi penasaran bagaimana reaksi bocah Kageyama itu kalau sampai tau, pasti lucu sekali, kan?"

Kitagawa DaichiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang