2. Penembak Jitu

12 1 0
                                    

Berikan aku ribuan mawar merah dan akan ku ubah menjadi selai manis menggoda

Safira baru saja ingin melangkah menuju kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan saat seorang laki-laki asing menghadang jalan. Laki-laki itu juga menarik pergelangan tangannya, membawa Safira menuju ruang musik yang tepat berada di ujung lorong.

Laki-laki itu langsung melepas genggamannya saat mereka sudah memasuki ruangan musik dan seketika Safira membulatkan matanya. Ruang musik yang penuh sesak dengan berbagai instrumen dan kertas-kertas berisi syair lagu kini di sulap menjadi ruangan ala kamar pengantin baru. Ratusan kelopak mawar merah bertebaran di lantai, lilin-lilin aroma terapi di sebar di setiap sudut ruangan—membuat Safira ingin muntah.

Siapa yang sangat kurang kerjaan sampai melakukan hal seperti ini? 'Kan sayang mawarnya, lebih baik di buat jadi selai madu untuk isian kue pia. Lebih bermanfaat dan bikin kenyang juga. Lah kalau ini, bunga-bunga indah itu malah akan berakhir di sapukan oleh amang-amang tukang bersih-bersih.

Terbuang percuma.

"Safira..."

Mendengar seseorang memanggil namanya dengan cara tak biasa membuat Safira yang masih memperhatikan sekitar kini memusatkan perhatiannya pada sumber suara. Laki-laki yang tadi menyeretnya kini sudah memegang gitar akustik, berdiri di atas panggung kecil yang memang sengaja di letakkan disana. Hingga jika nanti ada siswa yang ingin berlatih menjadi anak band bisa menggunakannya dan konser sepuasnya.

"Iya?" Safira berdiri kaku, masih tak mengerti apa yang laki-laki itu lakukan.

"Ini lagu untuk kamu."

Setelahnya terdengar petikan gitar dengan nyanyian merdu yang mengingatkan Safira pada vokalis band Noah. Suara mereka sedikit mirip meski Ariel Noal jauh lebih baik. Mungkin faktor propesionalitas dan pengalaman, ya?

Dan saat Safira masih bertanya-tanya apa maksud orang itu, tanpa di sadari siswa lain sudah ikut berkerumun disana. Ada yang berseru Ciee dan ada juga yang mencibir, untuk urusan ini pasti berasal dari para gadis yang iri. Safira sudah biasa mendapatkan berbagai cemoohan dari mereka dan karena alasan itu juga sampai ia duduk di kelas 12 Safira tak memiliki seorangpun teman perempuan.

Tapi ia memang tak pernah ambil pusing, toh Safira tak membutuhkan orang-orang munafik seperti itu.

"MATI INI, MATI!! JULIAN!!"

Safira mengernyit saat suara laki-laki menusuk telinganya, mengalahkan nyanyian dari laki-laki—yang belum Safira ketahui siapa. Pasti salah satu dari anggota Blanc, pikirnya. Siapa lagi yang berani meneriaki nama Julian dengan keras begitu selain para anggotanya.

Tapi bagaimana reaksi Julian jika melihat semua ini ya? Berhubung teman masa kecilnya itu tak pernah suka jika ada laki-laki lain yang mendekatinya. Marah, kesal atau biasa saja?

Ahh, sudahlah. Lebih baik Safira menikmati lagu yang secara khusus di persembahkan untuknya sekaligus memikirkan bagaimana caranya membuat mawar-mawar itu bisa menjadi percobaannya nanti.

3 menit kemudian lagu itu berhenti, disusul dengan sang penyanyi yang kembali berjalan kearahnya. Kali ini di temani sebuket mawar merah yang tadi di letakkan di atas keyboard, dan Safira langsung membeliak saat laki-laki itu bersimpuh di depannya.

Apa-apaan ini?!

"Safira Serena Inggrid, perempuan yang sudah berhasil membuat Aku jatuh cinta sejak pertama kali kita bertemu. Senyuman dan keceriaanmu mampu meluluhkan hatiku, menumbuhkan tunas-tunas baru dan dalam waktu singkat berubah menjadi taman yang indah."

Duh, kenapa Safira malah ingin muntah ya?

"Aku tau mungkin ini terlalu tiba-tiba, tapi kamu merupakan anugerah terindah yang Aku dapat setelah semua kesedihanku. Perasaan ku yang semula tak terima berada disini kini menjelma menjadi perasaan mendamba. Aku ingin selalu melihatmu, berada di dekatmu dan menjadi seseorang yang ikut serta dalam keseharianmu."

Sumpah, Safira ingin muntah sekarang. Aroma menyengat dari lilin-lilin itu membuat perutnya bergejolak mual.

"Safira Serena Inggrid," laki-laki itu menjeda ucapannya, "maukah kamu menjadi kekasihku?"

Safira terdiam, lagi? Kenapa harinya tak pernah damai dari para penembak jitu? Meski mereka kebanyakan dari kalangan siswa baru yang belum mengetahui tentangnya, tapi dalam satu tahun saja minimal dari 5 orang laki-laki yang datang. Dan 4 dari mereka selalu mengutarakan perasaannya pada Safira seperti ini.

Semoga saja Julian tidak tahu.

"Hmm, siapa nama lo?"

Laki-laki itu sedikit tersentak lalu tertawa gelisah. Sepertinya sadar akan kesalahannya tidak memberi tahu nama terlebih dahulu sebelum melancarkan aksi.

"Sorry-sorry, nama Aku Semesta Bima Alam panggil aja Bima."

"Lah, nama lo unik banget."

Bima tertawa kecil, tangan kanannya masih mengacungkan buket mawar dengan gemetar. Di tilik dari posisinya yang goyah, tangan gemetar dan wajah berkeringat seperti Bima tengah sakit perut. Pasti, Safira yakin itu.

"Bima, dari pada lo berlutut disini kayak yang lagi di hukum bu Tyas lebih baik lo ke toilet deh," saran Safira yang mampu membuat Bima melongo.

"Toilet?"

Safira mangut-mangut seakan tebakannya merupakan esai yang mendapat penghargaan dunia. "Iya, lo sakit perut'kan? Tangan lo gemetar terus lo keringetan apalagi wajah lo itu, ekspresinya gak bisa bohong kalau lo lagi nahan poop."

Bima semakin melongo, tak percaya mendapat respon semenakjubkan ini dari Safira. Seharusnya Safira menutup wajahnya karena malu dan grogi saat ada laki-laki yang menyatakan cinta padanya bukan malah membuat ponis sesat.

"Bima?" Safira menyentuh pundak Bima, sehingga laki-laki itu tersentak pelan lalu mendongak, "lo gak papa'kan? Kita ke toilet ya, gue tau kok rasanya nahan begituan. Gak enak banget."

"Hah? Hahaha.." Bima tertawa hambar. Namun setengah dari hatinya juga bersorak riang karena Safira mau menyentuhnya, sesuatu yang sudah ia tunggu-tunggu. Setelah berdeham untuk menetralkan degub jantungnya Bimo memilih bangkit, memegang tangan Safira lalu menyerahkan buket bunga mawarnya. "Be my queen, please?"

Belum sempat Safira membuka mulutnya seseorang sudah lebih dulu menariknya menjauh disusul dengan suara tonjokan yang membuat bulu kuduk meremang. Safira belum tersadar sepenuhnya jika suara berdebum keras akibat hantaman tubuh Bima menyentuh lantai tak menembus gendang telinganya.

"BERANI-BERANINYA LO NYENTUH SAFIRA?! MAU MATI LO!!"

Safira mengerjapkan matanya, menatap sosok Julian yang berdiri di depannya sembari berkacak pinggang. Rambut pirangnya tampak berantakan, sama seperti penampilannya. Kemeja putihnya sudah terbuka sehingga kaus putih polosnya ikut terlihat. Pin berbentuk otak keemasan tersemat di dada kirinya—menandakan kalau dia termasuk seorang Blanc—bersebelahan dengan pin hati emas yang mencolok.

"Siapa lo?" Bima bangkit sembari mengaduh, tonjokan Julian memang tak bisa di ragukan. "Lo gak berhak larang gue dekatin Safira."

Julian tertawa mendengarnya, laki-laki itu langsung saja melayangkan kembali tinjunya dengan kalap. Tak ada yang boleh menyentuh Safira-nya selain dirinya dan keluarga Safira. Tidak boleh!

"Brengsek lo!" Sungut Bima tak terima, ia baru saja ingin membalas perlakuan Julian jika saja Erwan dan Rio tidak datang tepat waktu. Kedua orang itu memisahkan Julian dari calon korbannya yang kemungkinan akan sangat mengenaskan.

"Denger ya murid baru, gak ada siapapun yang boleh nyentuh Safira sehelai rambutpun. Siapapun itu,  kalau enggak silahkan berhadapan sama gue, Alrico Julian Sanz Fariza ketua dari Blanc!"

Lagi, aturan mutlak itu kembali terucap.

TBC

SAFIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang