Aku diam bukan berarti aku pengecut, aku hanya malas meladeni para pengecut.
—
BRAK
Safira tersentak pelan saat seseorang menggebrak mejanya dengan keras. Mengagetkannya dari acara tidur siangnya yang nyaman. Tak sampai disana, Safira juga bisa merasakan sesuatu yang basah mengucur dari rambutnya. Sirup leci.
Permainan kecil ini lagi.
Mendongak, Safira bisa melihat seorang gadis dengan wajah bersinar efek make up dan rambut yang ikal halus. Briana, anak Cheerleader yang jatuh cinta setengah mati pada Julian sejak mereka masuk SMA Bela Bangsa.
Briana juga sering mengajak ribut dan kali ini keberanian gadis itu seperti sudah bertambah. Dulu Briana tak akan berani beradu fisik maupun menumpahkan sesuatu padanya, tapi sekarang? Sepertinya Briana tahu kalau Julian sedang tak ada.
Tadi pagi setelah mengantarnya pergi ke sekolah Julian langsung pergi lagi bersama teman segengnya, entah kemana. Safira juga tak peduli. Sayangnya tanpa kehadiran Julian maupun anggota Blanc Briana bisa dengan mudah membullynya tanpa takut ada orang yang mengadu.
Karena setiap orang hanya menutup mata. Mereka tak peduli bahkan jika Briana menyakitinya sekalipun. Safira sudah terlanjur di benci tanpa tahu alasan sebenarnya.
"Kenapa?" Tanya Safira malas. Tangannya bergerak mengusap rambutnya dengan jaket yang tadi Safira sampirkan di sandaran kursi.
Briana tersenyum mengejek, menyentak tangan Safira sehingga jaket hitam itu terjatuh ke lantai. Tangan gadis itu kemudian terangkat hingga temannya menaruh sekotak susu yang sudah di gunting atasnya disana. "Sekarang Julian lagi gak ada, so gak ada yang bisa lindungi lo dari gue," katanya sembari memainkan kotak susunya.
Safira balik tersenyum, sama sekali tak gentar walau Briana sudah menaruh kotak susu itu di atas kepalanya dengan posisi terbalik. Membiarkan cairan amis itu mengucur deras membasahi rambut, wajah bahkan sampai ke bajunya.
"Dih udah gila kayak nih cewek, bukannya takut malah senyum-senyum," ejek salah satu teman Briana.
"Kenapa gue harus takut?" Safira menatap keempat gadis yang memiliki julukan beauty and beauty itu merendahkan. Tak ada rasa takut sedikitpun, Safira malah tersenyum sinis.
Briana mengernyit. "Kayaknya lo nantangin gue ya? Lo belum tahu aja apa yang bisa gue lakuin sama cewek murahan kayak lo."
"Lo kayaknya gak punya kaca sampe julukan itu aja ketuker."
"Maksud lo apa?!" Bentak Briana tak terima. Gadis itu kemudian menjambak rambut Safira sehingga Safira terpaksa bangun.
Safira meringis, kulit kepalanya terasa memanas dan perih. Namun Safira tak boleh gentar. Tidak. Safira tidak boleh membuat gadis sialan itu puas karena berhasil merendahkannya. Alhasil meski menahan sakit, Safira hanya mengulas senyum culas.
Tangannya terangkat ke wajah Briana membuat gadis itu repleks mundur, sayangnya bukan itu yang menjadi sasaran Safira. Melainkan lengan gadis lain yang tengah memegang baskom air—entah apa tapi Safira tahu air itu seburuk jus leci dan susu basi tadi. Samar-samar Safira bisa mencium aroma busuk dari air keruh itu. Air seni?
Dengan cepat Safira langsung menyentaknya membuat lengan itu goyah dan menjatuhkan benda yang di pegangnya.
"AKHHH!!" Teriakan Briana membuat setiap pasang melihat kearahnya dan terkesiap kaget. Tubuh gadis itu sudah basah kuyup, menguarkan bau-bauan yang tak sedap. Beberapa orang sudah sudah mulai merekam kejadian, membuat ketiga sahabat Briana sontak mengerumuninya dengan enggan. Takut ikut terkena.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAFIRA
Teen Fiction|4 MATA ANGIN SERIES| •BLANC Sejak berusia 7 tahun, Julian sudah menaruh hatinya pada Safira. Keceriaan dan canda tawanya mampu membuat laki-laki berdarah Spanyol itu terpesona sejak pertama kali mereka bertemu. Sayangnya, 8 tahun kemudian Julian me...