Bukan aku namanya jika tidak menggunakan kesempatan dalam kesakitan
—
"Hatcihhh.."
Untuk kesekian kalinya Julian bersin hari ini. Kulitnya yang pucat dari kebanyakan orang Indonesia membuat rona merah di hidungnya terlihat jelas.
Safira memang kejam, setelah menendangkan ke dalam kolam berenang di dinginnya malam, gadis itu malah mengunci pintu kamarnya dan terlelap tanpa dosa. Sedangkan Julian harus ketar-ketir karena ia lupa sedang berada di kediaman Safira dan tak memiliki pakaian ganti.
Sehingga Julian harus berlari macam orang gila ke rumahnya sambil menggigil kedinginan. Dan berakhirlah dengan gejala flu yang menyiksa. Makanya kini Julian sedang meringkuk sendirian di dalam UKS sekaligus bersembunyi agar orang-orang tak menertawakannya. Masa ketua Blanc yang di kenal kejam harus mengalami hidung tersumbat karena flu? 'Kan tidak etis.
"Lo kenapa, Ju? Sakit?" Erwan datang setelah Julian menghubunginya, lengkap dengan sepaket gorengan bergizi rendah dan teh hangat khas rumah makan PMR.
"Lah, lo flu bos?" Rio juga ikut datang, tertawa saat melihat tumpukan tisu bekas di pojokan.
Julian memutar bola matanya. "Tutup pintunya! Awas aja kalau ada yang tau kondisi gue lo pada yang mati!"
"Lagi sakit masih bisa ngancem orang ya bos?" Dengus Erwan sembari memberikan bala-bala jagung yang di beri tambahan bumbu penyedap rasa cap nuklir kepada Julian. "Itu sepuluh ribu ya, Ju. Hutang lo nambah jadi 23 ribu sama sosis bakar kemarin."
Julian mendengus, menggigit bala-balanya lalu merogoh dompetnya. Mengeluarkan 2 lembar uang seratus ribuan dan melemparnya pada Erwan. "Makan noh hutang gue!"
Bukannya tersinggung karena perilaku tak sopan dari ketuanya, Erwan malah nyengir kesenangan. Julian cuma berhutang 23 ribu karena tak memiliki uang pecahan saat itu tapi Erwan malah mendapat 177 ribu sebagai bunganya. "Hehe, lumayan rezeki anak sholeh."
"Mata duitan lo!" Sembur Rio. "Nyokap bokap lo udah kaya tujuh turunan anaknya masih kayak gembel. Gue dong gak level sama duit dua ratus ribu, tapi kalau si Julian bayarin hutang gue di kantin gue sih okeh aja."
Oke fix, teman Julian matre semua.
"Dari pada lo semua ngebacot aja, mending panggilin Safira kesini buruan. 3 menit dia harus udah ada disini."
Erwan dan Rio sontak memutar bola mata mereka, ingin menjitak kepala Julian namun masih sayang nyawa. Akhirnya sepasrah gadis perawan Erwan bergegas pergi, membawa Safira yang kala itu tengah berolahraga tepat di sebelah ruang UKS.
Bahkan karena mungkin malas berjalan memutar, Safira lebih memilih masuk lewat jalur alternatif. Jendela.
"Kenapa? Lo sakit cacar? Sakit jantung? Atau sakit ambeien?" Cerca Safira saat kedua kakinya baru saja menginjak lantai UKS yang kinclong bersinar.
Julian yang sedang menyesap teh hangatnya mendengus kesal. Entah kenapa Julian bisa menyukai perempuan sejenis Safira. Tidak peka, ceplas-ceplos dan tak memiliki rasa kepacaran sama sekali. "Gue sakit, Fi. Jahat banget lo. Sini peluk gue, gue kedinginan nih."
"Suruh siapa lo ngerjain gue, otak gue udah ternoda gara-gara lo," tukas Safira jengkel walaupun tubuhnya bergerak tanpa di komando untuk duduk di sebelah Julian dan memeluk laki-laki itu.
Julian tentu saja kesenangan, bergeser menyamankan dirinya dalam dekapan Safira yang hangat. Ia juga meletakkan tangan Safira di pucuk kepalanya, meminta di elus bagai anak kucing kurang belaian. "Salah si Rio tuh. Video nya kan dari dia," ngeles Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAFIRA
Teen Fiction|4 MATA ANGIN SERIES| •BLANC Sejak berusia 7 tahun, Julian sudah menaruh hatinya pada Safira. Keceriaan dan canda tawanya mampu membuat laki-laki berdarah Spanyol itu terpesona sejak pertama kali mereka bertemu. Sayangnya, 8 tahun kemudian Julian me...