Part 4 - Lo mengejek gue?

400 61 17
                                    

Olivia mengetuk pintu ganda besar berwarna coklat dengan ukiran pohon yang sangat keren. Pintu ini cukup berat. Berdasarkan ukiran dan besarnya pintu ini, ini menandakan kalau ruangan di dalamnya sangat penting. Ukiran pohon ditengah-tengah pintu melambangkan kehidupan-kata Papanya sewaktu dia kecil. Kehidupan yang tengah dijaga sang papa. Apalagi kalau bukan kehidupan perusahaan?

Zakariya berada di kursi kebesarannya, memandang PC sewarna silver yang entah menampilkan apa. Meja panjang hitam mengilat dan ada dua kursi di depannya. Lampu gantung Kristal berada di tengah-tengah ruangan, rak-rak kaca menutupi seluruh dinding di belakang Papanya. Dan ada dua pasang sofa di sudut lain yang dipisahkan meja, khusus untuk tamu. Olivia menginjak karpet Portuguese Armorial seharga satu miliar itu, sebelum duduk di kursi di depan meja sang Papa.

"Ada apa, Pa?"

Zakariya melepaskan kaca matanya dan menatap sang putri intens. "Kenapa kamu menolak ikut Olimpiade Matematika?"

Punggung Olivia menegak. Sial! Pihak sekolah sampai memberitahu orangtuanya juga. Tatapannya terpaku pada karpet di bawah kakinya lalu berucap pelan. "Not interested."

"Not interested, huh?" Zakariya mengulang ucapan anaknya dengan pelan dan menekan. "Kamu sepertinya sudah lupa sama apa yang Papa bilang."

"Jangan menyia-nyiakan kesempatan apapun yang datang," jawab Olivia, masih tidak menatap mata sang Papa.

Zakariya mengangguk pelan. "Exactly. Dan Papa tidak perlu memperjelas apa yang kamu lakukan saat ini."

Olivia menarik napas lalu akhirnya menatap iris mata Hazel yang mengintimidasi itu. "Tapi itu memang gak penting kan, Pa? Buat apa? Aku pasti akan lolos seleksi ujian masuk Universitas London tanpa harus punya piagam olimpiade itu."

Sang Papa menyugar rambut tebalnya ke belakang sambil menghela napas. "Memang, memang. Semua anak Papa gak pelu ikutan olimpiade itu hanya untuk dijadikan bahan mengemis agar bisa diterima universitas di luar. Tapi yang ingin Papa tekankan bukan itu."

Olivia mengerjap pelan. Zakariya tersenyum simpul lalu menunjuk sang anak. "Kamu. Kamu adalah calon penerus perusahaan, Olivia. Papa ingin menekankan kalau penerus usaha keluarga Nelson Lane memiliki semua bakat dan kecerdasan yang diperlukan. Bahkan lebih. Piagam olimpiade memang tidak dibutuhkan untuk menjalankan perusahaan dengan baik, tapi apa salahnya jika beraksi sedikit? Tunjukkan kepada para bedebah sialan itu bahwa penerus selanjutnya dari FTI tidak bisa dikalahkan dalam bidang apapun."

Dia agak... tercengang. Seharusnya dia sudah bisa menduga ini. Kenapa dia masih tidak bisa menebak jalan pikiran ayahnya sendiri? Olivia memperhatikan sang Papa yang masih tersenyum penuh kebanggaan lalu mengangguk. Apalagi yang bisa dia lakukan selain setuju?

"Oke. Bagus! Itu baru namanya anak Papa! Sekarang pilih, London Business School atau MIT?"

"MIT," balasnya singkat dan cepat. Dia ingin pergi sejauh mungkin dari sini menuju kebebasan. Kalau menjawab London, dia pasti akan dititipkan ke keluarga om dan tantenya. Ugh, tidak akan.

"Hmm..." Zakariya menggeleng pelan. "Padahal Papa kira kamu mau di London."

Olivia mengangkat kedua bahunya. "I have chosen."

"Okay. Cased closed. Happy weekend. Papa sama Mama mau pergi ke Tanggerang. Kalian jaga rumah."

Olivia bangkit, tanpa berucap apapun langsung keluar begitu saja. Di balik pintu, Oliver sudah menunggunya, memasang telinga. Padahal sia-sia saja perbuatannya itu. Dia tidak akan mendengar apapun.

"Gimana gimana?"

"London Business School atau MIT?"

"MIT," jawab adiknya cepat.

Rewrite The Stars [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang