Part 9 - Our little angel, Oliver

330 44 24
                                    

Theresia membuka pintu ruangan yang memiliki plakat besi bertuliskan 'ruangan pembelajaran'. Olivia pikir di dalam sana akan sangat membosankan, karena hanya ada ruangan kaku penuh rak buku, meja dan kursi. Warna catnya juga akan monokrom seperti gedung sekolah ini. Namun ternyata dia salah.

Ruangan seluas 15x25 meter itu dipasang wallpaper bertemakan alam dan pegunungan. Meja dan kursinya pun tidak kaku seperti di perpustakaan. Ada sofa panjang, bed sofa, sofa single yang berbentuk seperti gumpalan busa di lantai, karpet hitam halus, dan mejanya menyesuaikan tinggi sofa yang ada. Lemari pendingin mini ditaruh di pojok ruangan, cermin bulat yang besar, pajangan dinding berupa lempengan besi yang membentuk pulau-pulau di Indonesia, dan terakhir ada sebuah rak buku besar yang dibentuk seperti pohon.

"Ayo masuk," Theresia sudah berjalan menuju rak buku tersebut dan mengambil beberapa buku paket.

Tidak hanya mereka yang ada disana, tapi juga seluruh anak yang akan mengikuti perlombaan—-jumlahnya sekitar 7 orang. Olivia mengikuti Theresia, duduk di bawah beralaskan sofa yang berbentuk seperti gumpalan busa lalu menaruh buku-bukunya ke atas meja.

"Olivia, kan?"

Dia menoleh ke arah seorang cewek manis dengan rambut bob di seberang ruangan, cewek itu tersenyum sangat manis. Duh, ada banyak sekali cewek-cewek cantik disini, tapi kenapa malah dia terus yang mendapatkan pengakuan cinta para cowok? Apa mereka buta?

"Hei," balasnya. "Ikut lomba apa?"

"Bahasa. Oh iya, nama gue Icha. Kelas Bahasa 2," senyum manis itu masih ada disana. "Gue kirain gosip itu bohongan. Ternyata bener ya?"

"Gosip?" tanyanya.

Icha mengangguk. "Soal lo yang gantiin Dhirta. Anak-anak satu sekolahan udah ngomongin lo tentang ikut olimpiade. Gue kira itu bohong karena ... kayaknya gak mungkin aja gitu."

Kedua alis Olivia menyatu. Cowok di sebelah Icha menimbrung. "Soalnya Dhirta paling anti untuk ngasih posisi mutlak dia di kursi perlombaan. Gue Oktavian, btw."

Olivia tersenyum tipis. "Gak ada yang abadi."

Mereka semua yang ada di ruangan itu tertawa. Pintu terbuka lagi dan Dhirta masuk, secara otomatis mengentikan kegembiraan yang ada. Semua orang terdiam memandangi sosoknya dengan heran, minus Olivia. Yang ditatap hanya berjalan santai menuju rak buku dan mengambil salah satu buku sejarah.

"Dhir, sori nih, tapi lo ngapain?" tanya Oktavian.

Dhirta memandang cowok itu aneh. "Gue baca buku."

"Kenapa gak di perpustakaan?" tanya Icha.

"Disana terlalu ramai, gue keganggu," Dhirta mengangkat kedua bahunya. "Eh, gue udah di blacklist ya disini?"

Semua orang—-kecuali Olivia-—menggeleng cepat.

"Ah, baperan amat lo. Ya enggak lah," Oktavian tertawa. "Lo sangat diterima disini. Orang yang udah menyumbangkan banyak medali dan piala untuk sekolah pasti diterima dimanapun."

"Sama halnya dengan orang-orang yang good looking," imbuh Icha, setengah bergurau. "Hierarki mereka mutlak dimanapun hahaha, gue misalnya."

"Yeee gak etis banget lo muji diri sendiri," Oktavian berdecih dan menoyor kepala Icha.

"Bukan gue doang ah! Olivia lebih cantik tau. Dia penerima kado terbanyak tahun ini," Icha menggerling nakal ke arahnya. "Gimana rasanya jadi cewek yang punya bodi bagus, otak encer, wajah goddess, dan orang kaya? Dulu, gue anggap hal yang kayak gitu agak mustahil karena terlalu sempurna hidupnya. Privilege yang lo dapet pasti gak main-main."

Rewrite The Stars [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang