Part 2 - Intuisi

550 77 21
                                    

Sekarang sudah hari Selasa. Tepat 35 menit sebelum bel makan siang pertama berbunyi. Olivia duduk tenang di kursinya, namun ingatannya terus mengulang kejadian di perpustakaan kemarin. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tatapan cowok itu, dan itu membuatnya kesal setengah mati karena tidak tahu alasannya.

Pak Walimatul Hakim—namanya memang seram sekali—yakni guru Kimianya yang berbadan besar dan berkumis lebat selesai mencatat soal di papan tulis. Ada lima buah soal yang beberapa diantaranya beranak pinak. Suaranya yang berat menyuruh para murid untuk mengerjakan soal itu sekarang juga. Bahkan yang tidak selesai, tidak boleh keluar kelas. Mereka mengeluh, jam istirahat mereka akan terpotong banyak.

Olivia meraih pulpennya dan mulai menulis. Konsentrasinya terpecah.

Hasil dari reaksi elektrolisis leburan MgCl2 dengan elektroda karbon dikatoda dan anoda secara berurutan.

Reaksi = MgCl ⇒ Mg2+ + 2Cl-

Lalu, Katoda = Mg2+ + 2e- ⇒ Mg.

Kenapa cowok itu terlihat marah sekali padanya? Padahal Olivia yakin mereka tidak saling mengenal. Berinteraksi saja tidak mungkin apalagi membuat kesalahan.

Anoda = Cl2 ⇒ 2Cl- + 2e-

Sebenarnya dia siapa sih? Apa salahnya? Apa masalahnya?

Tatapan tajam itu sangat mengusiknya. Jika saja dia tidak terusik dan biasa saja, mungkin dia tidak akan membawa urusan ini terlalu jauh. Bagaimana caranya dia mengetahui cowok itu? Ada sekitar 170 lebih anak cowok di sekolah ini, dan dia tidak mungkin menyusuri kelas satu-persatu.

Olivia menatap bukunya dan langsung mendapatkan ide. Dia akan ke perpustakaan. Mencari data anak itu lewat buku tamu otomatis. Tapi sebelumnya, dia harus cepat-cepat menyelesaikan soal ini. Akhirnya, 15 menit kemudian, dia sudah selesai dan bergegas ke depan.

"Boleh saya keluar lebih dulu, Pak?"

"Tergantung. Kalau betul semua, ya boleh saja."

Olivia memberikan bukunya dan Pak Hakim langsung memeriksa dengan teliti. Semenit berdiri di depan, akhirnya Pak Hakim memberikan anggukan. Olivia tersenyum kecil dan langsung mengeloyor pergi ke luar, mendengarkan sorakan tidak terima anak-anak yang tertahan.

Perpustakaan sepi karena bel istirahat belum berbunyi. Belum ada anak-anak yang mengembalikan buku-buku sebagai referensi tugas. Olivia melirik kiri-kanan sebelum mendekat kepada meja petugas. Menyalakan computer LCD yang menampilkan menu utama buku tamu. Dia mencari history tamu dan mengganti harinya menjadi Senin.

Hanya ada 6 pengunjung perpustakaan hari itu. 3 siswa dan 3 siswi. Ada Wahyu dari kelas 10. Dia kenal cowok ini karena pernah duduk semeja saat di kantin. Sempat mengobrol sebentar juga tentang tim football kenamaan Amerika. Kemudian Aldri yang kadonya berhasil dia kembalikan. Untung saja cowok itu bukan tipe drama yang haus perhatian di depan umum. Dan orang lain yang namanya berada diantara mereka berdua.

Dhirta Rashid. 11 IPA 1.

Olivia tersenyum kecil dan segera keluar dari sana. Ada perasaan senang yang merayap masuk saat berhasil mengetahui namanya. Olivia menuju lantai kelas 11 dan berhenti di sana, di IPA 1. Sosok Dhirta sangat mudah ditemukan, walaupun dia hanya mengintip lewat jendela. Tubuhnya lebih tegap berisi daripada cowok lain di sekolah ini. Potongan rambutnya yang semi cepak menambah ketegasan rahangnya. Postur duduknya pun sangat tegak.

Olivia menyeringai. Dia hanya perlu strategi untuk menyelesaikan urusan mereka. Ralat! Urusan Dhirta. Karena sejak awal, Olivia tidak memiliki masalah apapun pada anak itu.

Olivia menjauhi jendela dan hendak turun menuju kantin. Saat kakinya baru menyentuh anak tangga pertama, speaker sekolah berbunyi. Memanggil namanya untuk menghadap ke kepala sekolah.

Rewrite The Stars [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang