"Dari mana lo?"
Oliver berjengit kaget dengan tubuh yang sepenuhnya belum turun dari motor. Dia menoleh, Olivia melakukan spinning bola basket diatas jari tengahnya sedang matanya menatap kepo kepadanya. Tanpa menjawab, dia turun setelah memarkirkan motor dengan benar.
"Lo nyari mangsa di malem hari juga ya?" tanya Olivia yang sekarang mengekorinya masuk ke dalam rumah. Dia memutar bola mata, jengah ditanya seperti itu. Kepo sekali sih kakaknya ini.
"Ver!"
"Ver!"
"Ver!"
"Astaga! Apa?!" Oliver berbalik ketika mencapai kamarnya. Olivia masih mengekor 3 langkah di belakangnya.
"Besok gue ulangan bahasa inggris."
"Ya terus?!" sahutnya judes. "Apa masalahnya?"
Bibir Olivia manyun 3 cm. "Literatur novel. Gue kan gak suka baca. Bantuin dong. Satu buku aja lo jelasin ke gue beberapa intinya."
"Gue sibuk. Jangan ganggu!" Oliver membuka pintu dan masuk.
BUK! Tengkuknya dihantam bola basket dan siapa lagi pelakunya kalau bukan sang kakak. Dia berbalik dan mendapati Olivia menatapnya dengan tajam.
"Ajarin gak?! Gue minta tolong elah!" kata Olivia judes.
"Mana ada minta tolong pake kekerasan?!" balasnya berteriak sambil mengusap tengkuknya yang baru dihantam bola. "Cepetan! Lo pilih sendiri!"
Olivia tersenyum lebar lalu masuk ke kamar adiknya yang selalu rapih. Ada rak buku besi dengan pintu yang bisa digeser di sudut ruangan. Panjangnya 150 cm dan lebarnya 180 cm, karena itu bisa menampung sampai puluhan buku. Olivia berjongkok, mengambil satu buku, memindai dan mengembalikannya lagi ketika dia merasa tidak cocok. Dia melakukannya selama 3 menit lalu menyerah. Kenapa sesulit ini memilih buku?
Oliver memperhatikan kembarannya yang berbeda gender itu. Pernah berada di satu rahim bersama tidak menjadikan mereka mirip secara spesifik, baik itu secara fisik maupun kecerdasan. Mereka sama-sama cerdas, tentu saja. Tapi gadis yang terlahir 7 menit lebih dulu darinya itu lebih istimewa karena sel-sel otaknya mampu bekerja secara maksimal hanya dengan sekali menyerap informasi yang ada. Olivia juga tidak suka membaca buku, namun dia tetap mengetahui banyak sekali pengetahuan. Anggap saja dia iri, karena memang itulah yang terjadi.
Akhirnya Olivia menarik salah satu novel dengan cover yang menurutnya menarik—padahal hanya sketsa sebuah pojok ruangan yang kosong. Kali ini dia tidak memindai blurb-nya. Dia memberikannya kepada Oliver yang duduk di tepi kasur.
"The Door by Magda Szabo," ucap Oliver.
Olivia duduk manis, bersiap mendengarkan. Namun semuanya buyar saat pintu kamar Oliver diketuk seseorang.
"Masuk."
Salah satu ART rumah mereka tersenyum tak enak. "Non Olivia dipanggil bapak di ruangannya."
Sambil bersungut-sungut Olivia masuk ke ruangan sang Papa. Belum sempat dia membuka mulutnya untuk bertanya, sang ibu yang duduk di salah satu sofa panjang mendahuluinya.
"Hari minggu ulang tahunnya Tante Widuri. Kamu temani Mama ke acaranya ya?"
Olivia berdiri kaku di dekat pintu. Dia melirik sang Papa yang tengah memperhatikannya. "Oh, uhm ... okay. Cuma itu yang mau dibicarain?"
Mamanya tersenyum seraya mengangguk. Olivia pamit undur diri dan kembali ke kamar Oliver.
☆☆☆
Kantin yang selalu ramai saat makan siang membuat Dhirta lebih memilih untuk duduk di area taman luar saja. Letaknya bersebelahan dengan kantin, hanya dibatasi oleh dinding. Ada banyak pohon rindang di luar sini, menambah suasana sejuk dan tidak begitu panas. Namun rumor keangkeran taman samping sekolah sudah terlanjur menyebar luas, menyebabkan sepinya taman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars [On Hold]
Teen FictionOrang-orang membencinya karena beberapa hal berikut ini : jenius, cantik, dan nakal. Oh atau bisa juga karena dia terlahir dari keluarga konglomerat. Dia tidak pernah mempermasalahkan hatersnya. Dia tidak mau ambil pusing untuk memikirkan hal-hal ya...