Olivia keluar dari ruangan Kepala Sekolah. Dia sudah memberikan jawabannya dan tidak perlu menebak kalau orangtua itu sangat gembira mendengarnya. Kepala Sekolah akan memberikan penjadwalan yang teratur untuk latihan dan segala fasilitas yang diperlukannya. Masalah partner, dia belum tahu, dia juga tidak menanyakannya. Tidak peduli siapa, intinya bisa diajak bekerja sama.
Kakinya melangkah menuju kantin sebelum masa istirahat habis. Dia melihat Dhirta duduk dengan para cowok lain di sudut, kerumunan di sampingnya berceloteh sangat berisik seperti anak cowok kebanyakan ketika tengah berkumpul. Dia mencoba menghiraukan dan fokus ke perutnya yang bergetar saat melihat mie ayam, tanpa pikir panjang dia menuju stan yang juga menjual bakso tersebut. Bagusnya adalah kantin sudah tidak begitu ramai, namun sayangnya stan yang dia tuju cukup dekat dengan tempat dimana Dhirta duduk.
"Eh eh, belom ada yang bisa dapetin Tuan Puteri Wiryo nih?"
"Susah, bray. Cobain gidah."
"Yang sekelas Rafa aja ditolak apalagi elo, jir!"
"Suara lo kecilin bego! Dia denger."
Olivia sudah mendengarnya namun dia tetap memandang ke depan, melihat proses pembuatan mie ayam pesanannya.
"Krupuk pangsitnya dipisah, Non Ollie?"
Olivia mengangguk pelan. Dia sudah meninggalkan uang berwarna hijau di dekat mangkuk-mangkuk bersih. "Makasih, Mang."
"Sama-sama, Non."
Olivia duduk di spot yang cukup jauh dari kumpulan cowok berisik itu. Dia makan dengan tenang. Memang benar, dari terakhir kali Bialy menembaknya hari itu, belum ada lagi yang datang dan memberikan kado hingga sekarang. Mungkin mereka sudah menyerah. Dan dia sangat bersyukur dengan hal itu. Ketenangan perlahan datang.
Rafa—cowok yang namanya sempat diucapkan oleh gerombolan cowok penggosip—masuk ke area kantin dan membeli minum. Cowok yang ... bagaimana mendeskripsikannya ya? Intinya cowok tampan dan ramah itu memang pernah menembaknya hingga 4 kali sebelum akhirnya benar-benar menyerah.
Sayang, dia tidak suka dengan pria bermulut manis.
Rafa suka sekali memujinya dan segala macam, waduh intinya manis banget deh. Olivia sampai tidak tahan untuk menyuruh cowok itu makan lemon langsung tanpa tambahan gula. Rafa bilang dia memang pantas mendapatkan pujian atas apa yang dilakukannya. Tentang kepintarannya, betapa ramahnya dia kepada orang lain, berteman dengan siapa saja, dan lain-lain, dan lain-lain. Masalahnya, dia tidak suka dipuji berlebihan seperti itu. Sekali-dua kali cukup, tidak boleh ada yang seterusnya.
Karena hanya dengan sekali pujian saja, dia sudah tahu kalau dirinya sehebat itu. Jadi, tidak perlu diulang-ulang. Lagipula, punya pacar itu merepotkan, bukan?
Rafa lewat dan menyapanya selintas, yang tentu saja dia tanggapi. Mereka tidak musuhan setelah insiden tembak-menembak itu, kok. Menandaskan mienya, dia jadi berpikir ulang, apakah tidak ada cowok yang menganggapnya tidak sempurna? Hey, dia masih manusia.
Pandangannya naik dan bertemu dengan iris legam di ujung ruangan. Olivia mengangkat sebelah alisnya dan Dhirta melakukan hal yang sama. Mereka saling tatap selama semenit kedepan hingga akhirnya lah dia yang memutuskan lebih dulu.
Be careful.
Dia jadi ingat dengan bisikan cowok itu. Tidak membencinya, katanya? Cih, bullshit.
☆☆☆
Weekend datang dan dia menepati janjinya untuk mengantar sang Mama ke pesta ulang tahun temannya. Matanya melihat ke cermin sekali lagi, memastikan dress-nya baik dan pantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars [On Hold]
Teen FictionOrang-orang membencinya karena beberapa hal berikut ini : jenius, cantik, dan nakal. Oh atau bisa juga karena dia terlahir dari keluarga konglomerat. Dia tidak pernah mempermasalahkan hatersnya. Dia tidak mau ambil pusing untuk memikirkan hal-hal ya...