G.14

3.3K 710 91
                                    


Sorry for typo(s)





Sudah satu minggu berlalu, Jaemin menghabiskan waktunya tak lagi di rumah. Awal bekerja memang membuat tubuhnya terasa pegal apalagi dengan harus menghapal cara pembuatan kopi dari Renjun. Namun, semua itu dikerjakan dengan hati gembira.



Setiap makan malam, ia akan menceritakan harinya pada sang ibu yang bertanya. Wanita itu merasa bahagia bahwa ia bisa memberikan kehidupan layak pada Jaemin yang selama ini dibesarkan tanpa tahu kedua orang tuanya. Tentu saja, Yuri syok kala itu mendapat kabar bahwa suaminya akan membawa pulang seorang anak.



Walaupun pada akhirnya, dia harus menjadi orang tua tunggal. Kehilangan suami masih membuatnya sakit, tetapi melihat Haechan dan Jaemin tumbuh saling menyayangi sudah cukup menjadi obat kesepiannya.



"Haechan?" suara Jaemin memanggil kakaknya yang tampak muram, seakan cerita yang disampaikannya tidak menarik, "Sakit, ya?"



"Dia merajuk," sela sang ibu sembari melipat kedua tangannya di atas meja, "Kan Ibu larang untuk datang ke kafe lagi, sampai rumah marah karena tidak bisa menemanimu bekerja."



Kedua alis Jaemin terangkat mendengar cerita beliau, belum lagi ekspresi wajah Haechan yang bibirnya maju karena kesal.



"Ibu, sih!" rengeknya sembari meletakkan sumpit dengan dengkusan.



Kening Yuri berkerut menatap putra sulungnya, "Kenapa jadi Ibu? Lagipula, setiap kau di sana selalu mengganggu Jaemin. Dia itu bekerja, malu nanti dengan Mark sudah berbaik hati menerima. Kau juga selalu mendapat kopi gratis," jemari wanita itu memijat pelan pelipisnya, "Sudah. Bagusnya kau belajar di rumah. Wifi juga sudah Ibu ganti jadi lebih lancar."




Di tempatnya, Jaemin menahan tawa melihat keduanya beradu mulut. Jika orang lain melihat, mungkin akan menganggap sebuah pertengkaran hebat. Namun, ia tahu bahwa seperti itulah mereka berkomunikasi.




"Di sekolah sudah bertemu guru, masa di rumah harus ditunggu dengan Ibu juga!"




"Memang kenapa kalau dengan Ibu, ha? Dulu kau saat TK saja menangis meminta Ibu tidak boleh meninggalkan kelas!"




Pernyataan tersebut mampu membuat Haechan murka, kedua tangannya menepuk paha dengan geram.



"Jangan membawa masa kecil, aku kan tidak tahu masa kecil Ibu!"




Barulah Jaemin tertawa, menatap secara bergantian pada dua sosok yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.



"Ya ini, alasan kenapa aku tidak mau dengan Ibu. Sulit sekali melawan orang tua."



Jari telunjuk Yuri terangkat tepat di hadapan putra sulungnya sembari mengangkat dagu dengan tatapan garang, "Apa kau bilang? Ibu tua?"




Tuduhan tersebut membuat Haechan mengerutkan kening, "Ya kalau dibandingkan dengan umurku juga Ibu lebih tua," sahutnya tak sopan sembari memalingkan wajah.




Dengan gerakan gesit, jemari Yuri sudah menjalankan aksi untuk memberi cubitan pada paha Haechan di sana.




Tangan Jaemin berada di atas meja, telapaknya menopang dagu dengan senyuman yang mengembang. Suasana seperti ini tidak pernah ia rasakan di rumah bersama kedua orang tuanya. Meja makan hanya seperti sebuah pajangan karena dirinya tak pernah meninggalkan kamar.







Gacaliye✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang