"Ka..."
"Hm?" Raka mendongak, menatap Leta yang berdiri mengintip dari pintu ruang kerjanya.
"Ganggu nggak?"
"Nggak. Sini." Raka menepuk-nepuk kursi yang dia tarik agar berada di sampingnya. Matanya menatap Leta yang berjalan canggung sambil membawa laptop.
"Duduk sini." Perintah Raka lagi saat Leta malah berdiri di depan meja.
"Kenapa?" Bibir Leta masih bungkam. Sebenarnya dia butuh pertolongan Raka untuk tugasnya ini. Tapi saat melihat laptop Raka yang menampilkan data-data yang sepertinya penting dan serius, dia jadi merasa menggangu kerjaan suaminya.
"Nggak jadi deh." Leta memilih bangkit. Tapi Raka kembali menariknya agar terduduk kembali.
"Tugasnya susah?"
"Enggak sebenernya. Tapi kayaknya kamu lagi sibuk bang...et." cicit Leta diakhir kata.
"Tugas apa emang?" Raka mengambil laptop Leta. Tapi hanya lembar word kosong yang ditampilkan.
"Itu, tugas wawancara. Makul kewirausahaan suruh buat laporan tentang usaha seseorang yang udah bisa dibilang maju. Terus...seinget aku kamu pengusaha. Kalo aku tanya-tanya boleh nggak? Jadi narasumber aku." Leta menggigit bibir atasnya saat Raka hanya diam, menatapnya menilai. Tapi kemudian Raka terkekeh. Merasa lucu.
"Bukannya kalo wawancara ke tempat atau lembaga itu harus ada surat izinnya ya." Pancing Raka. Tangannya menarik kursi Leta agar semakin mendekat.
Leta yang ditanya seperti itu tergagap. Mengigit ibu jarinya. "Masa sama suami sendiri mesti pake surat izin juga??" protes Leta memberengut tidak terima. Padahal hatinya udah ketar-ketir kalo Raka benar-benar meminta surat izin.
"Harus profesional dong. Di sini yang butuh informasikan kamu. Berarti posisi aku di sini sebagai pemilik perusahaan dan kamu hanya pewawancara. Masih tetep nganggap nggak butuh surat?" Raka menaikkan alisnya. Leta semakin memberengut. Kesal tapi sadar kalo apa yang Raka ucapakan memang benar.
"Ya kannn... Ck. Yaudah deh. Nggak jadi tanya."
"Becanda. Becanda. Oke, mau tanya apa."
"Katanya suruh pake surat izin??"
"Nggak sayanggg. Aku kan udah bilang bercanda. Kamu serius banget sih."
"Ya kamunya bikin aku takut. Tugas mesti dikumpulin besok malah minta surat izin. Ribet tau ngurusnya."
"Itu tugas dikasih kapan?"
"Sebulan yang lalu."
"Kenapa belum buat?"
"Yakan emang udah rencana aku mau mewawancarainya kamu. Kara aja tanya-tanya ke Pak Fatih ngapain aku repot tanya-tanya orang lain kalo udah ada kamu."
"Kenapa nggak wawancara dari kemarin coba?"
"Rajin amat. Tugas dikumpulin masih lama kenapa buru-buru dikerjain. Santuy. SKS malah idenya langsung tek tek tek bermunculan." Sebagai penganut sistem kebut semalam tentu Leta tak pernah mau repot-repot memikirkan tugas jauh-jauh hari. Kecuali tugas kelompok.
"Yaudah sini. Mau tanya apa?"
"Beneran nggak haru pake surat izinkan??"
"Nggak sayangggg."
"Oke sip." Leta menepuk kedua telapak tangannya semangat. Siap melakukan sesi wawancara.
Raka sendiri memilih membereskan berkas-berkasnya. Mematikan laptop miliknya dan menyuruh pembokat mereka untuk mengantarkan minuman serta camilan ke ruang kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SuamiKu Menyebalkan
Random"Aku mau pulang..." "Oke. Kita pulang." "Bukan kita. Tapi aku. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku."