Leta berjalan keluar dari gerai atm yang ada di kampusnya. Dia baru saja mentransfer sejumlah uang ke rekening miliknya, bukan yang dari Raka, tapi rekening miliknya sejak jaman SMA. Sudah menjadi rancangannya sebelum menikah, dia akan menyisihkan sejumlah nafkah yang suaminya berikan untuk menjadi tabungan rahasia (suami atau orang lain nggak perlu tau). Yang akan dia gunakan dimasa mendatang, ketika dia benar-benar butuh. Bukannya ingin mendahului takdir dengan menebak sesuatu yang buruk terjadi, tapi masa depan tidak ada yang tahu. Jadi Leta berencana menabung sebanyak mungkin hingga dirasa dia benar-benar butuh uang itu.
Lagian uang yang diberi Raka selalu lebih dari cukup bagi Leta. Dia juga sempat berencana mengirim untuk orang tuanya, tapi Raka larang. Dengan mengatakan itu untuknya sendiri, terserah dipakai untuk apa. Mengenai orang tua, Raka sudah menyiapkannya, baik untuk orang tuanya ataupaun mertuanya.
Leta tentu bersorak. Bukannya matre atau gimana. Dia sebagai wanita tentu realisitis saja. Uang memang tidak menjamin kebahagiaan seseorang, tapi uang menjamin skincare dan isi perutnya. Sesimpel itu dia mendefinisikan uang.
Sejak menikah dengan Raka, Leta tak perlu menabung berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk membeli skincare. Sekarang dia bisa membeli tanpa hitung-hitung harga. Kadang mertuanya juga mengajaknya perawatan bersama. Membuat kulitnya semakin glowing putih mulus kagak burik apalagi dekil. Jadi rada ikhlas dia nikah sama Raka.
"Leta."
"Eh, iya?" Leta menghentikan langkahnya, membalik badan dan menemukan Danu, lelaki yang pernah mencoba melamarnya ke rumah.
"Mmm...itu..." Danu menggaruk kepala belakangnya, tersenyum salah tingkah. Leta masih menunggu. Alisnya mengangkat bingung.
"Kenapa bang?" Danu adalah seniornya di sini. Sudah menjadi kebiasaan memanggil senior dengan embel-embel bang atau mbak di kampusnya. Dia juga menghargai Danu. Karna bagaimanapun Danu pernah "hampir" menjadi bagian hidupnya kalo saja waktu itu tidak dia tolak.
"Katanya...kamu udah nikah ya?" Leta sadar akan tatapan itu.
"Iya bang." Leta tersenyum simpul. Mulai paham arah pembicaraan mereka.
Danu diam. Leta tau dia kecewa. Tapi dia bisa apa?
"Kamu...kenapa milih dia dibanding aku?"
Mata mereka bertatap-tatapan. Leta bingung harus jawab apa.
Danu sosok yang baik bagi Leta. Malah bisa dibilang "imam potensial". Ibadahnya rajin, baik hati, tidak kasar, good looking, pembawaanya kalem, adem pokoknya kalo liat dia, dan yang pastin pekerja keras. Tapi ya gitu, namanya bukan jodoh.
Mereka kenal saat Leta baru memasuki dunia perkuliahan. Saat itu mereka bertemu di masjid kampus karna tak sengaja terjebak hujan. Kara juga bersama Leta waktu itu. Mereka ngobrol banyak hal. Sebagai mahasiswi baru, Leta bertanya banyak hal pada Danu. Obrolan mereka berlanjut terus hingga berlabel teman. Ditambah teman Danu juga sempat berpacaran dengan Kara. Makin dekatlah mereka. Saat Leta masuk semester Tiga, Danu datang melamarnya ke rumah. Kondisinya yang saat itu masih kuliah dan masih merintis usaha membuat orang tua Leta mempertimbangkan banyak hal. Apalagi saat itu umur Leta masih terlalu muda untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Leta juga mencoba memantapkan hati. Meminta petunjuk pada Tuhan. Tapi hatinya malah semakin ragu. Dia baru berusia delapan belas tahun saat itu. Masih banyak yang ingin dicapainya sebelum status dia berubah jadi istri. Akhirnya, setelah melalui banyak pertimbangan, dia memutuskan untuk menolak lamaran Danu.
Setelah itu mereka tidak pernah bertemu, bahkan sekedar menanyakan kabar di sosial media. Danu seperti menghilang dari peredaran Leta. Leta sempat merasa bersalah. Tapi yaaa...emang dia harus gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
SuamiKu Menyebalkan
Random"Aku mau pulang..." "Oke. Kita pulang." "Bukan kita. Tapi aku. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku."