1🥀

166 59 34
                                    

"kali ini apa lagi Kiana?"

Pertanyaan itu di layangkan Sartika kepada cucunya. Sedangkan sang empunya hanya menunduk tak berani menatap wajah neneknya yang sedang marah besar. Ia sudah sering di marahi seperti itu tapi entah mengapa rasa takut saat neneknya marah tidak juga hilang.

"Maaf Nek." Cicit gadis mungil itu pelan, ia berani bersumpah jika tidak sengaja menjatuhkan adik sepupunya Keira dari motor. Lagipula apakah neneknya itu tidak melihat jika dia juga terluka, bahkan lukanya lebih parah dari luka milik Keira. Sekarang saja dia harus menahan diri agar tidak ambruk, karena pergelangan kakinya terkilir.

"Maaf. saya sudah bosan mendengar kata maaf dari mulut kamu itu." Ucapan sarkas Neneknya membuatnya terdiam. Alasan apapun yang di ucapkan memang tak pernah berarti untuk Neneknya, bagi Neneknya hanya dirinya lah yang patut di salahkan atas semua masalah di rumah ini.

Setelah mengucapkan itu Neneknya pergi dari hadapannya, berlalu menuju cucu kesayangannya Keira. Mengobati luka yang tidak seberapa di banding yang ia miliki dengan hati-hati. Takut-takut jika terlalu keras menekan lukanya bisa melukai cucu kesayangannya itu. Lalu Kiana, dia berjalan tertatih meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Mati- matian menahan rasa nyeri di kakinya, belum lagi lututnya yang juga robek.

***

"Tahan bentar ya Non." Pak Ahmad mengurut kaki Kiana pelan, mencoba membenarkan otot kakinya yang terkilir. Sesekali meringis saat kakinya di tekan dengan kuat.

"Udah aja pak." Sejak tadi Kiana merengek agar Pak Ahmad menyudahi pijatan di kakinya.

"Bentar lagi ini beres Non." Sebenarnya Pak Ahmad juga kasihan melihat wajah kesakitan majikannya, tapi mau bagaimana lagi kaki yang terkilir akan bertambah parah jika di biarkan. KLEK, pak Ahmad menarik kakinya sehingga menimbulkan bunyi tulang yang begeser.

"Akhh." Kiana berteriak kencang saat kakinya di tarik, bahkan matanya sampai berkaca-kaca menahan rasa sakitnya.

"Coba deh Non gerakin pelan-pelan." Kiana mengikuti perintah pak Ahmad, mulai menggerakkan kakinya pelan. Dan ajaib rasa sakit di pergelangan kakinya sudah hilang entah kemana, ia harus mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Ahmad yang sudah menjadi penyelamatnya.

"Woah Pak Ahmad hebat banget." Dia berucap takjub, bahkan sampai melompat kegirangan karena rasa sakit itu sudah menghilang. Menurut Kiana ini sangat luar biasa, selain ahli menyetir Pak Ahmad juga ahli dalam hal memijat.

"Makasih Pak Ahmad." Bahkan gadis itu tak segan mencium punggung tangan sopir di rumah neneknya itu. Sedangkan Pak Ahmad hanya terkekeh melihat majikanya yang menurutnya sangat menggemaskan itu. Baginya Kiana itu sudah seperti putrinya sendiri.

"Iya sama-sama Non Kia." 

Pak Ahmad balas mengusap kepala majikanya dengan sayang, Kiana memang seperti itu, selalu menganggap bantuan kecil yang dilakukan seseorang kepadanya adalah hal yang luar biasa. Hal sekecil apapun itu.

"Ya udah ya Pak, Kia mau bantuin Bi Suci masak di dapur dulu." Pamit Kiana sebelum meninggalkan Pak Ahmad, langkah riangnya menuju dapur terhenti saat melihat Keira berdiri di hadapannya.

"Kia maaf ya. Tadi aku nggak nurut pas kamu nyuruh aku nggak gerak-gerak." Keira meminta maaf kepadanya, ia jadi ingat mereka jatuh dari motor tadi karena Keira yang tak bisa berhenti bergerak-gerak di atas motor. Ia tersenyum melihat raut penyesalan adik sepupunya yang usianya satu tahu di atasnya ini. Oh iya Keira itu anak dari adik ayahnya. Maka dari itu secara otomatis Keira menjadi adik sepupu Kiana.

"Nggak papa kok Ra, santai aja." Ia menepuk pelan pundak Keira.

"Tapi kamu jadi di marahin Nenek." 

Kiana ArsyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang