🌺 Good At Goodbyes

2.7K 549 128
                                    

"Ini Asahi pas kelas enam. Lagi suka-sukanya main sepeda dia. Sampai tante marahin karena kerjaannya kelayapan terus tiap pulang sekolah."

Hitomi tertawa mendengar cerita ibunya Asahi. Tadi selepas makan malam, wanita paruh baya itu dengan semangat langsung menarik Hitomi ke dalam sebuah kamar. Lantas menunjukkan album foto masa kecil anaknya pada Hitomi.

Melihat gadis itu tersenyum membuat sang Ibu juga turut tersenyum. Tiba-tiba tangannya terulur mengenggam jemari gadis itu lembut. Bikin Hitomi refleks menoleh.

"Hiichan tau gak? Asahi biasanya gak pernah tertarik kalau cerita soal cewek, tapi waktu itu. Pas pamannya nemu foto kalian berdua di ig Asahi, dan kami tanyain, padahal niatnya cuma bercanda, tapi Sahi langsung bilang kalau dia emang udah punya pacar. Tante kaget banget dengernya."

"Maaf..."

Beliau menggeleng lantas tersenyum hangat, "Justru tante mau bilang makasih. Makasih ya udah menyayangi Asahi selama ini."

Hitomi balas menatap dalam haru. Terlebih saat tangan wanita itu terangkat dan mengelus rambut Hitomi dengan senyum keibuan.

"Tante percaya orang baik seperti kamu pasti akan diselamatkan tuhan. Jadi, Hiichan, jangan pernah tutup mata hati kamu ya."

Tepat setelah itu ada seruan dari luar yang bilang bahwa ada telpon untuk ibunya Asahi. Membuat wanita itu harus meninggalkan Hitomi sendirian. Dan Hitomi langsung merespon dengan anggukan maklum.

Setelah beliau pergi, Hitomi masih sempat tertegun sebentar. Meresapi makna dibalik kalimat terakhir yang dilontarkan sang ibu. Sampai ujung matanya tak sengaja menemukan siluet Asahi yang berdiri di ruangan lain.

Berbekal penasaran, Hitomi pun meletakkan album foto itu ke atas ranjang sebelum ikut mengintip dari belakang pintu yang terhubung ke ruangan itu. Dimana Asahi dan ayahnya tampak sedang berbincang serius.

"Menurut kamu mana yang harus diutamakan? Cinta kepada manusia atau cinta kepada tuhan?"

"Pa..." lirih Asahi, "Tomi masih percaya adanya tuhan kok."

"Pada dasarnya agnostik itu adalah kaum kebimbangan, Nak. Fitrah mereka akan selalu berakhir pada dua hal, pertama benar-benar menjadi pemeluk suatu agama tertentu. Atau yang kedua, benar-benar menjadi pendusta agama, dan golongan inilah yang kita sebut atheis."

"Kan kita bisa bantu supaya dia gak masuk golongan atheis?"

"Gak akan segampang itu untuk bisa mengubah keyakinan seseorang, Asahi. Kecuali jika tuhan dan dirinya sendiri berkehendak. Maksud papa, perkara filsafat adalah hal serius jadi ada baiknya kamu jangan terlalu memaksa keadaan."

Asahi tidak bersuara lagi. Pun Hitomi yang mendengar itu. Ia menunduk dalam. Sedetik kemudian Hitomi memilih kembali ke tempat duduknya. Merasa sudah cukup paham isi konversasi bapak dan anak itu.

Hingga tibalah waktu pulang. Setelah berpamitan dengan keluarga Asahi. Si lelaki pun ikut mengantarkan gadisnya pulang. Dan sepanjang perjalanan, suasana didalam mobil menjadi jauh lebih sunyi.

Keduanya tampak tak berniat memulai obrolan sedari tadi. Si pengemudi sibuk terpekur dengan pikirannya sendiri, sedang yang satunya sibuk melihat pemandangan diluar melalui jendela mobil.

Mereka sudah sampai didepan rumah Hitomi saat tiba-tiba Asahi menginjak rem dengan kuat. Hampir membuat keduanya tersungkur kedepan jika tidak menggunakan sabuk pengaman. Tentu saja Hitomi syok. Ditolehnya lah ke samping, mencari tau apa yang baru saja terjadi.

"M-maaf. Aku tadi ngelamun..." jelas Asahi lantas beralih menyibak rambutnya kebelakang sembari menghela nafas kasar.

Hitomi hanya bisa menatap Asahi nanar. Jujur, ia benar-benar tidak ingin melihat sosok Asahi yang begini. Gadis itu kemudian melepas seatbelt yang ia pakai, sebelum menghadap sepenuhnya pada Asahi.

"Sahi, makasih ya. Aku seneng banget ketemu keluarga kamu. Mereka baik. Aku juga gak nyangka papa kamu bakal ngasih ini, katanya buat kenang-kenangan."

Asahi menoleh pada liontin salib yang ditunjukkan Hitomi.

"Papa kamu bilang, semoga tuhan selalu menyertaimu. Aku udah sering denger kalimat itu sih, tapi tadi rasanya agak aneh. Gatau kenapa."

"Hiichan--"

"Sahi," Hitomi lebih dulu memotong. Gadis itu memandang tepat dimanik Asahi lalu beralih menautkan jemari mereka, "Kayaknya kita emang enggak bisa ya?"

Jeda mengisi. Jadi beginilah akhirnya.

"Maaf."

Hitomi tersenyum tipis, "Gak apa-apa. Aku gak pernah nyesal ketemu kamu. Makasih, karena udah jadi alasan utama aku untuk bahagia."

Bersambut dengan kalimat itu, Asahi langsung melepas seatbelt-nya lalu menarik Hitomi ke dalam pelukan erat. Membiarkan wajahnya tenggelam pada cerung leher gadis itu. Sementara Hitomi mengusap rambutnya lembut.

"Aku sayang kamu." lirih Asahi.

"Aku juga sayang kamu." balas Hitomi.

"I wish we had another time. When you and me have no more differences."

"Sahiii, jangan ngomong gitu ih ntar aku nangis."

Asahi mengurai pelukan itu lalu memandang Hitomi intens.

"Jaga diri kamu ya, Hiichan."

Hitomi mengangguk sambil tetap tersenyum, "Udaah, jangan bikin aku semakin sulit ngelepas kamu deh."

Tawa Asahi menguar. Sayangnya tawa kali ini justru terdengar sarat akan duka.

"Our last kiss, maybe?"

"No."

"Hiichan..."

"You want me to cry a whole night, Asahi?? Please, don't--"

Tapi Asahi mengabaikannya. Lelaki itu sudah bergerak menyelipkan sebelah tangannya pada tengkuk Hitomi lantas menarik si gadis mendekatinya. Melenyapkan jarak diantara mereka. Dan saat bibir keduanya bertemu, bulir bening juga ikut turun dari dua pasang netra itu.

Setiap perpisahan memang selalu menyakitkan. Namun, dari kesakitan itu kita belajar hal yang lebih besar. Yaitu, mengikhlaskan.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






[✔️] Mint ChocoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang