5. Funeral

340 7 0
                                        

Siang ini matahari tidak terlalu menyengat. Gumpalan awan putih malah sering kali menghalangi matahari, membuat suasana jadi teduh. Sayangnya, panas atau hujan pun sama saja, nggak akan mengubah nasibku sekarang. Ada atau nggak ada matahari, nggak akan membuat Papa kembali bernapas dan tersenyum.

Rombongan pelayat yang membantu prosesi pemakaman Papa baru saja sampai di TPU Asoka, pemakaman yang letaknya paling dekat dengan rumahku. Nggak tahu siapa yang memilih pemakaman ini, aku cuma mengikuti orang-orang membawa Papa ke sini. Lagi pula, Papa mau dimakamkan di mana pun sama saja. Papa tetap akan tidur ditimbun tanah selamanya.

Aku berjalan di belakang keranda yang dipikul empat orang pria. Semua orang masih terus membacakan ayat suci. Aku nggak asing dengan ayat-ayat yang dibacakan ini, tapi nggak tahu ayat ini dari surat apa dan juz berapa. Di sampingku, Kara terus terisak. Walau sudah mandi dan ganti pakaian, Kara tetap terlihat kacau. Dia menolak menyisir rambutnya. Dia pengin Papa yang menyisir rambutnya, kayak biasanya. Kegiatan yang pasti cuma bisa dia ingat karena nggak akan pernah terulang lagi.

Tangisanku sudah berhenti semenjak aku duduk di mobil jenazah. Sebenarnya, aku belum puas menangis, tapi nggak bisa menangis lagi. Dadaku masih sesak dan ngilu. Tubuhku juga rasanya ringan banget. Kayaknya aku mendadak punya kekuatan super meringankan tubuh. Kalau melompat, aku yakin bisa langsung terbang kayak Superman.

Air mataku rasanya sudah habis. Terlalu banyak yang harus aku tangisi. Aku sampai nggak tahu gimana caranya menangis lagi saat ini.

Mama akhirnya dibawa ke rumah sakit. Tante Lily yang menemani Mama. Aku lebih memilih ikut mengantar Papa. Aku mau melihat Papa untuk terakhir kalinya. Kalau bisa, aku harus ikut dengan Papa juga.

Sayang, akal sehatku masih berjalan lancar. Kalau aku pergi bersama Papa, siapa nanti yang jagain Mama dan Kara? Aku memang sayang Papa, tapi juga sayang Mama dan Kara.

Papa menyebalkan! Harusnya, Papa mengajak kami semua pergi juga. Baru kali ini Papa pergi sendirian. Biasanya, pergi keluar kota untuk urusan kantor saja, Papa memboyong kami semua.

Kenapa Papa jadi egois begini, sih?

Kara nggak mau didekati siapa pun. Dia hanya mau aku peluk. Tante Lily bahkan kena tendangannya karena merayu Kara biar nggak ikut ke pemakaman. Biasanya, aku bakal mengomeli Kara kalau keterlaluan begitu. Tapi, aku nggak sanggup. Yang aku lakukan cuma diam sambil memeluk Kara. Aku tahu dia sama terlukanya sepertiku dan Mama. Kara juga sedih dengan kematian Papa.

Keranda diturunkan di samping tanah yang sudah menganga. Aku memilih berdiri menghadap keranda yang berselimut kain hijau. Dadaku sesak tiap melihat keranda ini. Pikiranku selalu menepis kenyataan bahwa yang berada di dalam situ adalah Papa. Berulang kali aku menganggap yang berbaring itu hanya boneka atau batang kayu, nggak mungkin Papa. Papa masih hidup, bersembunyi di tempat yang nggak aku duga.

Pandanganku tertuju pada keranda yang sudah dibuka. Tubuh Papa yang dibungkus kain kafan terlihat. Dadaku rasanya semakin ngilu. Tiga orang pria mengangkat Papa dan memberikannya pada tiga orang lain yang sudah ada di dalam lubang.

Sesak banget melihat Papa masuk ke dalam lubang.

"PAPA," panggilku dengan suara kencang. Air mataku turun deras tanpa bisa aku tahan. Akhirnya, aku menangis lagi. Aku terus berteriak memanggil Papa, berharap Papa bisa berontak dan naik dari lubang menyeramkan itu.

Bu RT, yang dari tadi ada di belakangku, mencoba menenangkan. Dia memelukku dan Kara. "Kak Vio harus ikhlasin Papa." Bu RT terus membisikkan kata yang sama sampai aku muak mendengarnya.

"Jangan dikubur!" rengekku saat ada yang memasukkan tanah ke dalam lubang yang berisi tubuh Papa.

Aku mencoba mendekat ke lubang. Aku nggak akan membiarkan ini terjadi. Nggak ada yang bisa memisahkanku dengan Papa. Aku harus menghalangi siapa pun yang mencoba memasukkan tanah ke dalam sana.

Beberapa orang menahan tubuhku. Aku terus berontak. Kara menangis sambil memeluk perutku. Sampai lubang itu benar-benar tertimbun tanah, aku nggak berhenti meronta. Tenagaku seperti nggak ada habisnya. Aku nggak peduli dengan apa pun. Aku nggak mau berpisah dengan Papa.

"Kak Vio, jangan begini. Papa nanti sedih kalau lihat Kakak marah begini." Bu RT mencoba menasihatiku.

Kalimat yang Bu RT ucapkan berhasil membuatku diam. Aku duduk di tanah, nggak peduli dress hitamku kotor. Kalau ada kotoran hewan pun, aku nggak peduli.

Bu RT benar. Papa selalu menasihati aku biar nggak jadi orang pemarah.

"Kalau Kakak marah, nanti bisa rugi sendiri. Sudah buang-buang energi, Kakak nggak akan bisa puas dengan hasilnya pula. Marah itu salah satu perbuatan yang sia-sia. Nanti Kakak malu kalau udah terlanjur marah gitu," kata Papa tegas. Wajahnya yang tanpa senyum masih teringat jelas di kepalaku.

Itu salah satu ekspresi Papa yang nggak kusukai. Untung saja Papa jarang banget memandangku dengan mata setajam elang itu, kecuali aku memang sudah melakukan hal yang keterlaluan banget.

Aku memang salah. Aku sudah mencurigai Kara yang menghilangkan buku matematikaku. Kara itu suka menggangguku belajar. Dia suka semua barang yang aku punya, termasuk buku pelajaranku. Hari itu, buku matematika milikku hilang. Sudah aku cari di mana pun, tapi nggak ada. Satu-satunya orang yang paling mencurigakan, ya, cuma Kara.

Saat aku bertanya soal buku matematika, dia malah pura-pura nggak mendengar. Kara menolak menjawab pertanyaanku. Gimana aku nggak curiga coba?

Kesabaranku akhirnya habis. Aku lelah. Lepaslah emosiku. Kara menangis kencang karena aku memarahinya habis-habisan.

Besoknya, saat sampai di sekolah, aku menemukan buku matematikaku. Buku itu tertinggal di dalam laci meja milikku. Aku menyesal sudah curiga dan marah sama Kara.

Aku berlutut di samping gundukan tanah, tempat Papa tidur selamanya. Kara mengikuti apa yang kulakukan. Papan kayu bertuliskan Afandi Ramlan tertancap di makam. Aku menangis dan terus memanggil Papa. Ini akhir dari pertemuan kami. Papa sudah lebih dulu pergi ke surga.

Nggak akan ada lagi Papa yang memujiku. Papa nggak akan bisa lagi usil. Nggak akan ada lagi pria tua yang selalu mengikutiku pergi ke mana saja. Papa nggak bisa cemberut kalau melihat aku diantar pulang cowok. Aku juga nggak akan pernah bisa melihat senyum Papa lagi. Kami terpisah sangat jauh.

Satu per satu orang, yang mengantar Papa untuk terakhir kalinya, mengucapkan belasungkawa untukku. Aku nggak bisa ingat siapa saja mereka. Hanya beberapa yang berhasil aku kenali sebagai tetangga, teman sekolahku, atau teman kantor Papa. Tanpa senyum dan pipi yang masih basah, aku membalas jabat tangan mereka. Papa pasti kesal melihatku begini. Menurut Papa, ini nggak sopan. Tapi, aku mendadak lupa caranya ramah dan tersenyum manis.

Berat banget harus meninggalkan pemakaman ini. Sebenarnya, aku masih pengin berlama-lama di sini. Aku nggak mau membiarkan Papa sendirian. Kasihan Papa nggak ada teman mengobrol nanti. Papa, kan, nggak suka sendirian. Papa nggak suka sepi makanya sering usil ke anak-anaknya. Papa lebih suka mendengar teriakan kami daripada melihat aku dan Kara diam di dalam kamar.

Kalau bukan Bu RT yang mengingatkan kondisi Mama, aku nggak akan mau pulang. Sekarang, aku harus melihat kondisi Mama. Aku harus pastikan Mama baik-baik saja. Cuma Mama orang tua yang aku punya sekarang. Mama dan Kara yang paling penting sekarang.

Entah gimana nasib kami tanpa Papa selanjutnya. Papa nggak akan bisa menjahiliku dan Kara lagi. Mungkin di dalam sana Papa akan ngobrol sama cacing dan bakteri. Nanti, cacing, semut, dan daun-daun membusuk yang menjadi sasaran keusilan Papa.

***

Sugar Baby Wanna Be (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang