Rajin update uhuuuuuuuuuuuuuy
Mana nih suaranya yang seneng aku update se-frequently ini hahahahaha
Semoga terhibur, ya.
Silakan menunjukkan eksistensi dengan muncul di kolom komentarHappy reading
*
*
*Sebenarnya kuliah sebagai mahasiswa teknik sipil bukanlah impian awal Haura. Dulunya dia sangat ingin menjadi dokter dan mengambil FK UI di pilihan pertama saat SNMPTN. Tetapi takdir berkata lain. Dia diterima di pilihan kedua dan karena dia lulus lewat jalur SNMPTN, maka rasanya nggak tepat kalau dia malah meninggalkannya dan mengikuti seleksi-seleksi lainnya.
Katanya kalau kita meninggalkan jurusan yang menerima kita di jalur SNMPTN, nantinya bakal berpengaruh pada kelulusan adik-adik kelasnya yang akan mengambil jurusan atau universitas yang sama. Sakitnya diterima di pilihan kedua saat itu masih terasa sesekali, terutama saat dia harus melewati hal-hal berat selama kuliah di fakultas teknik.
Rasa sakit itu kembali muncul sekarang, di tahun terakhir dia kuliah. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan teman sekelompok KP Haura yang sangat menyebalkan.
Astaghfirullah. Haura harus bersabar. Ingat. Setahun lagi. Setahun lagi dia akan menjadi sarjana teknik. Setelah itu dia akan bekerja, mengambil master, menikah, dan melanjutkan hidup dengan aman dan nyaman.
"Ra, lo udah sarapan belom?" tanya Gomgom dengan kedua tangan yang memegang ponsel.
Saat ini mereka sedang berada dalam kereta menuju Tebet. Dzaki bilang mereka bertemu langsung di sana saja karena lebih dekat dengan rumahnya yang berada di Cawang.
"Udah. Kenapa?" tanya Haura balik.
"Gue nitip dibeliin sarapan sama abang gue di sana. Kalau belum biar sekalian gue pesenin."
"Oh. Makasih, Gomgom. Nggak usah."
Karena hari kerja dan masih jam setengah sembilan, kereta menuju Tebet penuh sekali. Jangan kan mendapat kursi, bisa bernafas dengan baik saja sudah patut disyukuri. Orang-orang berdempetan. Salah mereka juga sih. Harusnya memilih kereta arah Gondangdia saja, bukan Tanah Abang.
Eh atau sama-sama penuh? Ah entahlah. Yang pasti sekarang dibutuhkan perjuangan untuk bisa berdiri tegak tanpa dihimpit oleh orang-orang. Untung saja ada Gomgom. Setidaknya ada yang mengawasinya dari orang-orang yang mungkin mau mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Haura dan Gomgom langsung merasa lebih baik begitu turun di Stasiun Tebet. Akhirnya bisa menghirup udara segar.
"Ra, kita dijemput abang gue di depan Upnormal," kata Gomgom sembari berjalan meninggalkan stasiun.
Hampir lima menit menunggu, sebuah mobil Avanza berlogo perusahaan tempat abang Gomgom bekerja berhenti di depan kami. Gomgom dan Haura langsung masuk ke dalam mobil.
Haura sudah mengenal abang Gomgom karena sebelumnya mereka sudah pernah bertemu bareng Anneke.
"Temennya yang satu lagi mana?" tanya abang Gomgom ramah.
"Dia langsung ke proyek, Bang," jawab Gomgom. "Sarapan aku udah Abang beli, kan?"
"Udah. Kalau kau ya, Gom. Isi otaknya makanan aja," ejek abang Gomgom.
Haura tersenyum tipis melihat interaksi dua orang Batak yang ada di depannya. Walaupun sama-sama dari Sumatera, tetapi cara berbicara orang Medan dan Bandar Lampung itu cukup berbeda. Itu sebabnya Haura senang setiap mendengar Gomgom dan abangnya ngobrol. Ngobrol tapi kayak mau berantem.
"Iya lah. Namanya anak kos. Bapak belum ngirim uang bulanan. Punya abang SM tapi pelit kali," balas Gomgom yang nggak mau kalah dari abangnya.
Abang Gomgom melirik Haura lewat kaca spion lalu berkata, "gimana uang Gomgom nggak cepat habis ya, Ra. Ngebucin mulu sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
KERJA PRAKTIK
General FictionGood thing gone bad. Itu lah yang langsung terlintas di pikiran Haura begitu tahu Dzaki -seniornya- satu kelompok dengannya dalam kerja praktek. Bukan apa-apa. Dzaki ini susah banget di-reach. Kerjaannya di kampus ya berorganisasi mulu sampai nggak...