°5

2 1 0
                                    

“Dia sudah berkontraksi?”
“Sudah, kak. Sepertinya dia akan melahirkan sebentar lagi.”
“Baiklah, aku akan segera pergi ke rumah sakit dengan suamiku. Oh, iya, Aan sudah bersamaku sekarang.”
“Oh, baiklah, kak. Hati-hati di jalan.”
“Aam sudah bersamamu di rumah sakit, kan?”
“Sudah, kak.”
“Baiklah, aku sedang perjalanan menuju rumah sakit.”
“Bibi, aku tidak sabar ingin bertemu dengan adik baruku.”
“Adik barumu pasti cantik seperti Ibumu.”
“Ayah, lampu merah!”
Satu jam berlalu setelah Ibu melahirkan.
“Ayah, ada panggilan telepon.”
“Oh, baiklah.”
“A-apa?! Aku akan segera pergi ke rumah sakit sekarang.”
“Aam, jangan beritahu Ibu tentang kabar ini. Ayah akan segera kembali.”
“Aam, Aan mengalami kecelakaan.”
Di waktu yang sama, kebahagiaan itu datang bersama dengan kesedihan. Tidak ada keberanian untuk menemui Ibu, ia memilih untuk meringkuk di sudut ruangan rumah sakit sendirian.
Aku tidak ingin siapa pun menghiburku.
“Aan, aku sudah menyiapkan hadiah untuk ulang tahun kita hari ini. Aku sudah menyiapkan hadiah untuk ulang tahun adik perempuan kita hari ini. Kau sudah berjanji akan merayakan ulang tahun kita hari ini bersama dengan adik baru kita, kan?”
Ia berjalan menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempatnya meringkuk dan membuang kedua hadiah itu.
“Aan, aku tidak ingin melihat Ibu menangis, aku juga tidak ingin melihat hadiah ini lagi.”
Senyumannya yang menyambut kehadiran sang adik kecilnya itu telah tergantikan dengan tangisan. Di umurnya yang masih enam tahun, dia harus kehilangan saudara kembarnya.
•••
“Aku ingin memberi usul, bagaimana jika kita membuat peraturan selama kita berada di dorm? Bukankah itu menyenangkan?”
“Setuju!”
“Aku ambilkan dulu kertas dan bolpoinnya.” Ucap Youra segera.
“Baiklah, mulai dari mana?”
“Dalam sepekan kecuali hari Minggu, masing-masing harus membersihkan kamar selama dua kali. Jadi, semisal hari Senin dan Selasa adalah tugasku untuk membersihkan kamar, lalu selanjutnya adalah Youra, dan begitu selanjutnya adalah Lina. Bagaimana?” Usul Aida.
“Baiklah, setuju!”
“Lalu, bagaimana dengan hari Minggu?” tanya Youra.
“Bagaimana jika sekitar pukul enam pagi kita berolahraga? Seperti jalan kaki.”
“Ah, itu menyenangkan!”
“Iya, aku setuju!”
“Konsekuensi untuk hari Minggu ketika akan berolahraga yang terlambat bangun tidur harus mengatur nasi dan lauk, bagaimana?” usul Youra lagi.
“Baiklah!”
Waktu setengah jam mereka gunakan untuk mendiskusikan tentang peraturan selama di dorm.
“Kutempelkan di sini, ya?”
Lina dan Youra mengangguk.
“Youra, kau akan menikah di usia berapa?” tanya Lina tiba-tiba.
“Sepertinya kisaran usia 32.”
“32?!”
“Serius?” Aida pun tersentak mendengarnya.
“Mungkin. Apa itu terlalu cepat?”
“Menurutku itu terlalu lama.”
“Menurutmu apa itu tidak terlambat?”
“Benarkah? Di Korea kisaran usia 30 sampai 34 itulah pada umumnya. Dibawah umur itu cukup jarang terjadi disini.”
“Oh, begitu.”
“Bagaimana di Indonesia?”
“Kisaran usia 20 sampai 25 pada umumnya. Dari umur 30 hingga ke atas itu cukup jarang terjadi disana.” Jelas Lina mewakilkan Aida.
“Astaga, benarkah? Apakah itu tidak terlalu cepat?”
“Sebenarnya tergantung pada kesigapan orang tersebut, iya kan?”
"Iya, itu benar."
“Aida menikah di usia berapa?” tanya Youra.
“Aku belum memikirkan itu, Youra.”
“Lalu, Lina?”
“Entahlah, mungkin setelah selesai S1.”
Keduanya hampir terperanjat. “Sungguh?”
Gadis itu terkekeh dan mengedikkan bahunya.
“Jika benar, kamu wajib mengundang kami!”
Aida menyetujui perkataan Youra.
•••
Aida dan Youra berada di dorm sepulang dari kampus sedangkan Lina sedang perjalanan menuju dorm karena jadwal kampusnya baru saja selesai.
“Aida, lihat ini!”
“Ah, kucing ini cantik sekali!”
“Iya, ini adalah kucing milik Zion Oppa. Namanya Huang.”
“Aku bahkan terheran-heran dengan kecantikan Huang. Bahkan, banyak sekali penggemar Zion Oppa yang sangat iri dengan Huang karena keduanya sangat dekat.” Lanjutnya.
“Kurasa kau juga iri pada kucing itu.”
“Aku membenarkan itu. Astaga, yang benar saja aku iri dengan hewan.” Dengus Youra kesal.
“Oh, iya. Tadi aku sudah melihat makanan di dorm, tapi aku tidak menyukainya. Aku alergi dengan ikan.”
“Apakah makanannya hanya ikan?”
Youra mengangguk cemberut. “Iya, sepertinya hari ini serba ikan. Bahkan tadi pagi aku terpaksa membeli roti sobek di seberang jalan.”
“Ayo kutemani membeli makanan.”
“Benaran? Baiklah, ayo siap-siap!” serunya.
“Ini sudah menjelang sore, tapi kenapa Lina belum kembali?” Tanya Aida.
“Benar juga, mungkin sebentar lagi.”
“Dia hampir setiap hari pulang sore. Bukankah dia sangat sibuk dengan jadwal kampusnya?”
“Iya, itu benar. Tidak heran jika mahasiswa program studi fisika sangat sibuk.”
“Bagaimana jika kita tunggu Lina terlebih dahulu?”
“Iya. Barangkali dia juga ingin membeli makanan di luar.”
“Assalamualaikum.” Lina datang.
“Wa’alaikumussalam.”
“Syukurlah sudah datang.”
“Ada apa?”
“Kita akan pergi ke luar untuk membeli makanan. Apa kau ikut?”
“Iya, aku akan ikut. Tunggu sebentar.”
“Baiklah.”
“Besok adalah hari Sabtu, tidak ada makanan di asrama. Bagaimana jika sekalian membeli makanan untuk besok pagi?” tanya Lina.
“Iya, sekalian saja.”
Sepanjang perjalanan.
“Aku ingin membeli makanan halal seperti yang kalian makan, tapi jangan ada ikannya.”
“Kau pasti menyukainya.”
“Ada banyak makanan halal yang tidak ada ikannya.”
“Bagaimana jika setiap hari aku mengonsumsi makanan halal? Asalkan tidak ada ikan. Aku ingin mencoba hal baru.”
“Boleh saja.”
“Jika aku membeli makanan halal di luar, maka aku akan membelikan satu untukmu, Youra.” Ujar Aida diikuti anggukan dari Lina.
“Terima kasih. Itu membuatku sangat senang!”
•••
Kedua belas member itu tengah berkumpul di ruang latihan. Mereka mengobrol banyak hal, membuat lelucon, mengganggu member lain, menyantap makanan ringan, dan mendesain logo album boyband LXE yang akan segera dirilis. Sejak awal, setiap logo pada lagu yang mereka rilis merupakan hasil karya diskusi mereka, tanpa campur tangan dari pihak agensi.
“Kalian tahu Lee Eun?” tanya Ye Jun.
“Artis yang membintangi banyak drama itu?”
“Aku menyukai salah satu dramanya.”
“Bukankah dia sudah menjadi artis sejak kecil?”
“Dia sangat terkenal dengan bakat beraktingnya.”
“Itu benar. Tempo hari aku bertemu dengannya di acara rekaman video, lalu kami berbincang cukup banyak dengan para staf disana. Saat itu dia sempat diminta salah satu staf untuk berakting adegan menangis, lalu dia benar-benar menangis saat itu. Aku merinding melihatnya. Setelah itu, aku dan dia mengobrol berdua, dia sempat memuji ketampananku, tapi aku sulit menerimanya, karena aku takut dia hanya berakting saat itu.”
Semua member tertawa setelah mendengar cerita Ye Jun.
“Astaga, aku bisa membayangkannya.”
“Menurutku, dia hanya berakting, Hyung. Jangan langsung tergiur dengan pujiannya.”
“Bilang saja kau iri padaku, Zico.”
“Logo album baru kita sudah selesai.” seru Daeshim membuat para member girang mendengarnya.
“Benarkah? Aku ingin melihatnya.”
“Astaga, bagus sekali, Hyung!”
“Sesuai dengan konsep kita. Bagus sekali!”
“Selanjutnya, kita akan merilis MV untuk album baru kita.” Ujar Ha Joon.
“Kapan kita akan melakukannya?”
“CEO bilang pekan depan dan perkiraan waktu untuk membuat MV membutuhkan waktu kurang lebih satu pekan.”
“Astaga, benarkah?”
“Ah, aku tidak sabar.”
“Aku tidak sabar segera bertemu dengan para penggemar.”
“Aku juga, Hyung.”
“Mereka selalu mendukung dan menunggu kita, jadi kita harus memberikan pertunjukan yang terbaik untuk mereka.” Ujar Ye Jun.
“Benar, mereka adalah bagian dari keluarga kita.”
Zion berjalan menuju ruang vokal nomor 4. Sebelum ia membuka pintu ruang vokal, ia merasa ada yang aneh. Ada jendela di samping lantas ia melihat ke dalalam. Ada So He disana. Lelaki itu terisak.
“So He menangis?”
Perlahan Zion membuka pintunya. So He cepat-cepat mengusap air matanya lalu berbalik ke arah Zion yang kini berjalan menghampirinya.
“Apa yang membuatmu menangis, So He?” Zion mengusap pelan punggung So He.
“Kau tidak perlu menyembunyikannya. Kau bisa bercerita padaku jika mau.”
So He kembali terisak.
“Aku tidak dapat menyanyi dengan benar, Hyung. Aku benar-benar stres.”
“Kau memiliki potensi, hanya saja kau tidak dapat melawan kelemahannya.” Ujar Zion lalu melanjutkan ucapannya.
“Potensimu salah satunya adalah bernyanyi, sedangkan kelemahanmu adalah bagian vokal suara tinggi. Kau mengalami kesulitan mencapainya karena belum bisa mengalahkan kelemahanmu itu.
Bukankah di album sebelumnya kau mendapatkan posisi untuk vokal suara tinggi? Saat itu kau berhasil mencapai tinggi suara itu, dan itu membuktikan bahwa kau sebenarnya memiliki potensi vokal suara tinggi, hanya saja butuh usaha sedikit lagi untuk melawan kelemahanmu.”
Perlahan ia mengangguk. “Kau benar, Hyung.”
•••
Jumat.
“Ah? Tumben sekali pagi-pagi sudah bangun.” Aida menatap heran. Youra memang tidak biasanya bangun pagi-pagi sekali.
“Aku akan pergi ke KBS. Apakah kalian mau menemaniku? Sekaligus berolahraga di luar.”
Aida melempar pandangannya ke Lina untuk memastikan.
“Memangnya ada apa di KBS?” tanya Lina.
“Menunggu para artis yang comeback lewat.” Tepat pada akhir ucapan Youra tertawa geli.
Sebelum Lina dan Aida merespons, dia lebih dulu bersuara. “Aku tahu kalian tidak mungkin mau, jadi aku hanya bercanda.”
Lina hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa.
“Apa kau akan pergi sendirian?” tanya Aida.
“Iya, Aida. Setiap hari Jumat aku melakukan ini, tapi hari Jumat kemarin aku tidak ke sana karena aku terlalu sibuk berbincang denganmu malam itu.”
Aida mengangguk mengerti.
“Aku sudah hampir terlambat. Aku pergi dulu, ya!” serunya seraya berjalan keluar dari kamar.
“Hati-hati di jalan!”
“Dia bahkan tidak mandi terlebih dahulu.” Heran Aida.
“Tapi, dia tidak harus mandi untuk terlihat cantik.” Lanjutnya..
“Wajar saja jika belum mandi, tapi dia pergi hanya mengenakan piyama.”
“Dia tidak suka merumitkan diri.”
“Dia terlihat seperti tidak sabar ingin bertemu seseorang.”
“Jika bukan karena niat, dia tidak mungkin sampai bangun pagi-pagi seperti ini.”
•••
Jumat.
“Kau sudah bangun?” tanya Zion ketika melihat Zico yang terduduk di ranjang namun matanya terpejam.
Zico mengangguk pelan tanpa membuka matanya.
Zion terkekeh melihat Maknae-nya itu. “Sepertinya kau belum sadar dari tidurmu.”
“Aku ingin ke kamar mandi dulu, Hyung.” Masih dalam keadaan kurang sadar.
“Ya.”
Bruk!
“Aduh!”
Zion segera menghampiri suara yang berasal dari kamar mandi itu.
“Astaga, Zico!” ia segera menolong Zico yang hampir jatuh terpeleset di kamar mandi.
“Kau harus hati-hati!” Zion tampak sangat khawatir. Bagaimana tidak? Zico adalah Maknae yang sangat ia sayangi.
“Hyung memperingatkanku ketika sudah terjatuh.”
“Hei, aku sudah memperingatkanmu ribuan kali. Bahkan sejak masa trainee.” Tukas Zion.
Ia terkekeh. “Terima kasih selalu menjagaku, Hyung.” Terbawa perasaan.
Zion tersenyum lalu melihat kaki Zico yang ternyata masih mengenakan kaos kaki. Zion melotot. Zico menyadari itu lantas bersikap seperti bayi.
“Aku lupa melepasnya, Hyung.”
“Sampai kapan kau terus seperti ini? Selalu saja lupa melepas kaos kaki ketika bangun tidur.”
Zico terus tertawa melihat Zion khawatir seperti itu. “Hyung, sudah lama kita tidak membeli teh gelembung.” Mengalihkan pembicaraan.
“Maksudmu, kau ingin membeli teh gelembung?” Zion memang sangat pengertian.
Zico mengangguk dan memasang wajah imut.
“Baiklah, kita akan membeli teh gelembung.”
Zico sangat bahagia mendengar itu. “Aku sangat menyayangimu, Hyung.”
Ia mengembangkan senyumnya. “Segera bersiaplah.”
Selama perjalanan menuju kedai teh gelembung, keduanya sangat menutupi diri agar tidak diketahui oleh para penggemar.
“Ingat tidak Hyung ketika hari-hari pra-debut, kita selalu membeli teh gelembung bersama?”
“Aku tidak mungkin lupa, Zico. Kita mulai menjadi dekat satu sama lain karena hal itu.”
Zico tersipu. “Hyung benar.”
•••
Jumat.
Siang itu, para member berkumpul di ruang tengah. Hari ini mereka mengubah jadwal latihan menjadi sore hari.
“Apa yang akan kita makan?” tanya Daeshim.
“Hyung, aku bosan dengan makanan cepat saji, bagaimana jika membeli bahan masakan di pasar lalu memasaknya di dorm?” dengan wajah melasnya Zico yang membuat para Hyung terbujuk.
“Aku setuju dengan ucapan Zico. Lagi pula kita sudah lama tidak makan masakan kita sendiri.” 
“Bagaimana jika membeli daging dan sayur?” usul Hye.
“Kalau begitu berapa orang kira-kira yang akan pergi ke pasar?” tanya Ha Joon.
Ye Jun mengangkat tangannya. “Aku menjadi sukarelawan.”
“Yang tidak ikut pergi ke pasar apakah boleh istirahat di rumah?”
“Baiklah, boleh.”
“Kalau begitu aku dirumah dan masak nasi.” Ujar So He.
“Baiklah, kamu harus masak nasi.”
“Kalau begitu yang pergi ke pasar Ha Joon Hyung, Ye Jun Hyung, dan Zion Hyung.”
“Bagus.”
“Baiklah, selalu aku yang harus pergi ke pasar.” Ha Joon mendengus pasrah.
“Kau adalah leader yang baik, Hyung.”
“Leader yang baik harus mau jadi relawan.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Beli makanan ringan juga, Hyung.” Pinta Zico.
“Baiklah.”
“Hye, aku tidak bisa memasak nasi, bagaimana jika kau yang memasaknya?” So He memang selalu mengatakan seolah bisa tapi sebenarnya tidak bisa dan ujung-ujungnya malah meminta member lain untuk melakukannya.
“Baiklah, akan kulakukan.”
“Aku akan membantumu.”
“Kita harus mencucinya terlebih dahulu.” Ucap Hye seraya mencuci beras tersebut.
“Hye, apa kau tahu nasi merah?”
“Aku tahu.”
“Bagaimana jika kita meneteskan cairan merah ke beras ini?”
“Hei! Apa yang kau pikirkan?!”
“Kita akan mencobanya.”
“Apa kau ingin mencoba-coba untuk membunuh membermu sendiri?”
So He terbahak-bahak mendengarnya. “Lelaki manis sepertiku tidak mungkin melakukan itu.”
“Kalau begitu kembalikan itu ke tempat semula, So He.”
So He terus mengganggu Hye yang tengah mencuci beras tersebut dengan berpura-pura meneteskan cairan merah ke dalam beras.
“Hei! Sudah kubilang taruh itu.” Geramnya.
So He menuruti.
“Hye, aku akan pergi istirahat.” So He beranjak dari tempatnya.
“So He-ya, panggilkan Hyeon untuk ke sini.” Pinta Hye.
“Baiklah.”
“Hyeon-ah, kau diminta Hye untuk ke dapur.”
“Oh, baiklah.”
“Apa Hyung ingin tidur kembali?” tanya Yo Han pada Ki Tae.
“Iya, aku sangat lelah.” Ia berjalan menuju kamarnya.
“Yong Jin-ah.” Panggil Yo Han dengan suara yang tidak begitu keras.
“Ada apa?”
“Ki Tae Hyung sedang tidur, ayo kita makan snack miliknya.”
“Benarkah? Ayo! Aku sudah lapar sekali.”
Keduanya berjalan hati-hati menuju almari khusus penyimpanan makanan snack. Tempat almari tersebut berada di samping kamar milik Ki Tae.
“Ini Snack milik Ki Tae Hyung, iya kan?” tanya Yong Jin seraya menunjuk pada Snack yang berada di bagian paling atas.
“Iya, benar. Itu ada nama Ki Tae Hyung. Ayo kita ambil.”
“Apa yang akan kalian ambil?” suara itu sontak membuat Yo Han dan Yong Jin terperanjat.
“Ki Tae Hyung?!”
“Bukankah Hyung tidur?”
“Bagaimana bisa Hyung tiba-tiba bangun?”
“Ulah kalian yang membuatku terbangun!”
Segera Ki Tae memukul kedua Maknae itu dengan bantal. “Dongsaeng durhaka kalian!” masih terus memukul keduanya sampai terjadi kejar-kejaran di ruang tengah.
“Maafkan kami Hyung.” Anehnya, Yo Han dan Yong Jin tidak bisa berhenti tertawa, justru itu yang membuat Ki Tae gemas.
Hyeon menyaksikan ketiga membernya itu dengan keheranan. “Ki Tae Hyung, apa yang terjadi?”
“Yo Han dan Yong Jin mengambil Snack milikku.”
Hye tertawa. “Mereka memang anak-anak jahil.”
“Lebih tepatnya anak-anak jahiliah, Hyung.” Timpal Hyeon.
“Kami kelaparan, Hyung.” Memasang wajah manis.
Ki Tae mendengus. “Ya sudah makan saja. Aku ingin kembali tidur.” Segera beranjak pergi ke kamar.
“Kalian selamat.” Puji Hye.
“Anak ini benar-benar.” Hyeon hingga menggelengkan kepalanya melihat Yo Han dan Yong Jin yang masih tertawa bahagia.
“Daeshim Hyung.” Panggil Zico.
“Iya, ada apa?”
“Bukankah menurutmu menjadi seorang idol itu sangat sulit dan risikonya berat?”
“Tentu saja, Zico. Sebagai idol, bukan hanya diri sendiri yang terancam, tapi juga keluarga. Ya, seperti sebagian penggemar yang sangat ingin tahu kehidupan privasi kita. Mereka bisa nekat melakukan apa saja agar keingintahuan mereka terpenuhi.”
“Tapi, Hyung, untuk para penggemar yang benar-benar mendukung kita, bukankah kita tahu bahwa suatu hari nanti kita akan mematahkan jutaan hati? Karena suatu hari nanti kita akan menemukan orang yang kita cintai, menjalani kehidupan dan fokus dengan karier masing-masing.”
“Kau benar, Zico. Tapi, ini sudah risiko. Mau–tidak mau, suka–tidak suka, kita semua harus bisa menerimanya.”
“Hei, apa yang kalian lakukan disini? Mengobrol?” tanya Ahn yang tiba-tiba muncul.
“Iya, kami sedang mengobrol.”
“Aku pikir Hyung sedang tidur.” Ucap Zico.
“Tidak. Aku sedang membaca buku ini.” Seraya menunjukkan buku yang ia pegang.
“Buku apa itu?” tanya Daeshim.
“Komik. Apa kau ingin membacanya?”
“Aku tidak menyukai komik, aku lebih menyukai buku tentang self improvement.”
“Ah, begitu.”
“Aku ingin membacanya Hyung.” Zico menyodorkan tangannya ke arah buku yang Ahn pegang.
“Baiklah, baca saja.” Seraya menyerahkannya pada Zico.
Ponsel Daeshim berdering. Rupanya panggilan telepon dari Ha Joon.
“Ada apa?”
“Hyung, tolong berikan ponselmu pada Hyeon.”
“Baiklah, sebentar.”
“Hyeon-ah.” Teriak Daeshim.
“Ada apa, Daeshim Hyung?”
“Kemari.”
Hyeon segera menghampiri Daeshim.
“Ha Joon ingin berbicara denganmu.” Seraya menyerahkan ponselnya pada Hyeon.
“Ada apa, Hyung?”
“Selain daging sapi, bombai, cabai, dan bawang, lalu apa lagi yang harus dibeli?”
“Garam, Hyung.”
“Garam yang apa? Di sini ada banyak sekali jenis garam.”
“Apa-apa saja yang sesuai dengan perasaanmu.”
“Aku tidak tahu tentang memasak, Hyeon-ah.”
“Belilah garam laut dan garam halus, Hyung.”
“Sudah itu saja?”
“Iya, Hyung. Bahan yang lain sudah ada di dapur.”
“Baiklah.”
Panggilan ditutup.
Beberapa menit kemudian.
“Akhirnya kalian sudah sampai.” Mendapati kedatangan ketiga member yang sepulang dari pasar.
“Aku akan segera memasak ini.” Ucap Hyeon selaku salah satu member yang sangat pandai dalam bidang masak-memasak.
“Hyeon-ah, aku akan membantumu.” Seru Hye sambil membawa bahan-bahan yang telah dibeli ke dapur.
Sebagian member masih tertidur pulas.
Ketika Hye, Yong Jin, dan Ye Jun tengah disibukkan dengan mengatur bahan-bahan makanan yang akan di masak, lalu Daeshim datang.
“Eh kalian.” Daeshim seraya melihat bahan-bahan yang berada di meja makan.
“Anak-anak.” Panggilnya lagi.
Tidak ada jawaban.
“Hei, anak-anak yang tidak menjawab.”
“Para Dongsaeng sedang menyiapkan bahan untuk masak. Apa yang kau lakukan?” tanya Hye.
“Kamu mau dibantu? Tapi, aku tidak tahu cara membuat makanan khas Korea.”
Daeshim merupakan member yang berasal dari China. Diantara semua member LXE, terdapat empat member yang berasal dari China. Diantaranya adalah Daeshim, Zion, Yo Han, dan Ki Tae.
“Kamu tinggal mengupas bawang saja.” Suruhnya.
“Mengupas bawang? Kamu ingin melihat Hyung menangis, kan?” selidiknya.
Hye tertawa mendengarnya. “Hanya bagian mengupas bawang yang belum dilakukan.”
“Kamu harus mengupasnya dengan rapi.” Ujar Hye pada Zico yang sedang memotong wortel.
“Hyeon-ah, kamu harus mengupasnya sedikit tebal.”
“Oh? Ibuku menelfon.” Hye melihat panggilan telepon yang tertera di ponselnya.
“Halo? Ibu...”
“Hye-ah, kamu dimana?”
“Aku pergi ke Gwangjin-gu dengan para member.”
“Halo, Ibu, ini Ye Jun.”
“Halo, Ye Jun-ah.”
“Halo, Ibunya Hye! Ini Hyeon.”
“Oh, Hyeon-ah! Aku mencintaimu.”
“Ah, terima kasih, Ibu.”
“Halo, ini Daeshim! Senang bisa mendengar suara Ibu.”
“Senang bisa mendengarmu juga, Daeshim-ah!”
“Halo, Ibu. Ini So He.”
“Oh, iya. Aku mencintai kalian semua.”
“Woahh! Apa ini?” Tersipu sekaligus terkejut mendengar ucapan Ibu Hye.
“Ibu, ada yang ingin kutanyakan. Apakah sup pasta kedelai ada bawangnya?”
“Tentu saja ada!”
“Lalu kita punya timun jepang, bawang, jamur musim dingin, dan tofu.”
“Kamu tinggal masukkan saja semuanya.”
“Wow!”
“Oh, aku mengerti, Bu.”
“Terima kasih, Ibu!”
Panggilan di tutup.
•••
“Zion Hyung sudah selesai mandi?” seraya menutup pintu kamar.
“Iya, sudah. Apa kau sudah mandi, Zico?”
Ia menggeleng. “Airnya dingin sekali, Hyung. Aku jadi malas.”
“Jangan beralasan tidak masuk akal, Zico. Ada pemanas air disana, segera mandi.” Seperti memerintah anak kecil, tapi bagaimanapun juga Zico adalah lelaki yang berjiwa anak-anak.
Zico menuruti meski dengan sangat terpaksa.
Di depan laptopnya, Zion menatap lekat gambar  sosok Ibu dan Ayahnya. Dia sangat merindukan keduanya. Zion dibesarkan di keluarga militer. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Zion itu sangat suka olahraga dan tampangnya yang manly.
“Zion Hyung menangis?” tanya Zico ketika mengetahui Hyung-nya itu terisak.
“Ah, kau sudah selesai mandi?”
Tidak menghiraukan pertanyaan Zion. “Apa yang membuat Hyung menangis?”
“Tidak. Aku hanya merasa kelelahan saja.”
Zico melihat gambar yang tertera di layar laptop. “Hyung merindukan Ayah dan Ibu?”
“Tidak, tadi aku hanya melihat gambar mereka saja.”
“Zion Hyung tidak bisa berbohong dengan benar.” Zico benar. Zion adalah salah satu member yang tidak bisa berbohong. Sekalipun ia berusaha berbohong, tetap saja ketahuan.
Zion hanya tersenyum mengiyakan. Ia mengakui hal itu.
“Aku tidak akan membiarkan Zion Hyung kesepian dan bosan di malam hari, agar Hyung tidak menangis.” Ucapan Zico berhasil membuat Zion terharu. Keduanya benar-benar seperti saudara.

ㅅ_ㅅ

Lelaki BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang