Bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu. Gue masih sibuk mengemasi barang-barang yang terletak di atas meja untuk di masukkan ke dalam tas. Setelah selesai, gue langsung bergegas menuju pintu. Tapi seketika, pundak gue di tepuk dari belakang, membuat gue sontak menoleh.
“Apa?” tanya gue.
“Lo pulang sama siapa, Cha?” tanya Amanda balik.
“Angkot.”
“Oh, kirain bawa motor.”
“Emang kenapa?”
“Mau nebeng,” cengir Amanda dan dibalas kerutan dahi oleh gue. “Ya udah, bareng aja yuk ke bawah.”
Gue jadi berjalan beriringan sama Amanda sampai ke lobi utama. Sampai tebengan lainnya menghampiri Amanda. Sampai gebetannya Amanda datang. IYA GEBETANNYA DAN MEREKA NINGGALIN GUE SENDIRIAN TANPA MELIHAT SITUASI KALAU GUE INI JOMBLO, MANA GUE PULANG PAKAI ANGKOT LAGI.
_____________________________________.
Gue membuka pintu utama berwarna putih yang tingginya kira-kira dua setengah meter. Mata gue mulai menyapu seisi rumah tapi yang gue dapatkan hanyalah kosong, sepi. Gue mulai berjalan menuju dapur, naluri gue mengatakan kalau kini papa sedang berada di dapur.
Dan ternyata memang benar.
Gue dapat melihat papa terduduk di salah satu kursi meja makan dengan kepala disandarkan di punggung tangan yang terlipat di atas meja. Gue mencoba mendekati.
“Pa…” sahutan kecil keluar dari mulut gue, mencoba membangunkan papa.
Papa sontak terbangun dan sedikit terkejut akan kehadiran gue, “Dicha udah pulang?” tanya papa dan di balas anggukan kecil gue, lalu gue menyalami tangan papa.
Mata papa terlihat sayu, gue menebak kalau kini papa tengah pusing. Kerutan tua telah menghiasi wajah tampan papa dan gue enggak nyangka kalau pria ini adalah orang tua angkat gue, iya, pria sebaik ini bukanlah bagian dari darah gue. Tapi gue hanya pasrah, gue gak bisa mengubah takdir yang sudah mengubah segalanya. Namun, tidak akan dapat mengubah rasa sayang gue terhadap papa.
“Papa pusing?” tanya gue lembut tetapi hanya di balas gelengan oleh papa.
Gue tersenyum simpul, “Dicha ke kamar dulu ya, Pa.”
“Iya.”
Gue berbalik dan mulai berjalan, tapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat gue menghampiri papa lagi.
“Pa, kakak udah pulang?” gue diam sejenak, “Mama juga kok gak ada? Mereka kemana?” tanya gue lagi. Mendadak raut wajah papa terlihat menurun, membuat gue sedikit gelagapan, panik bercampur bingung.“Papa kenapa?” gue menatap papa dengan tatapan panik.
Papa mengeleng kecil sambil menutup matanya, “Papa enggak apa-apa. Dicha ke kamar ya, udah mau jam empat sore. Ganti baju terus sholat isya ya.”
Gue mengiyakan lalu beranjak, berjalan menuju kamar yang ada di lantai dua. Setiba di depan pintu kamar, perlahan gue memutar knop pintu silver bundar, lalu membukanya. Gue masuk lalu meletakkan tas di sebelah meja belajar gue. Terdengar bunyi ‘nit’ saat gue menghidupkan air conditioner.
Gue merentangkan tangan kuat-kuat sambil menghirup dalam-dalam aroma khas kamar gue, citrus bercampur green tea. Aroma yang lembut, yang membuat siapa saja akan betah berlama-lama tinggal di kamar ini.
Aroma green tea ini menenangkan gue dari semua rasa lelah sehabis sekolah hari ini. Baru satu hari sekolah dengan status kelas 11 aja gue udah lelah, apalagi untuk dua semester, bisa gila gue. Aroma ini juga mengingatkan gue sama matcha latte, minuman favorit gue. Kan, jadi pengin beli. Gue cepat-cepat menggeleng, untuk sekarang gue gak punya waktu buat beli.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kulkas Boy [ON GOING]
Подростковая литератураSetelah Adicha tahu bahwa ia hanyalah seorang anak angkat, hidupnya semakin suram dan rumit. Ditambah lagi takdir mempertemukannya dengan cowok muka tembok bersama sejuta kemisteriusan yang menyelimuti dirinya. Alvian, cowok berpenampilan seperti be...