Enam

37 4 2
                                        

Beberapa kali gue melirik arloji putih yang terlilit di pergelangan tangan kiri dengan sedikit gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul 06.55, itu berarti lima menit lagi upacara akan berlangsung. Baru seminggu gue mendapat status kelas 11 dan ini adalah upacara kedua gue, gak boleh telat!

“Mang, cepetan dong, saya udah mau telat nih,” kata gue kepada sopir angkot yang sudah beberapa kali mengelap keringatnya.

“Ini Jakarta, Neng. Jam segini emang pada macet.”

“Kan bisa nyelip-nyelip, Mang,” gerutu gue.

Sumpah, gue yang selalu disiplin ini gak mau telat upacara sekalipun! Itu adalah salah satu hal yang anti buat gue.

Angkot yang gue kendarai sama sekali enggak jalan-jalan. Sekalinya jalan paling cuma maju 2 sampai 4 centi doang. Suasana angkot kini pun sangat membuat gue mual, kepulan asap rokok dari bapak paruh baya yang duduk di pojok itu memenuhi ruang dan membuat dada gue makin sesak. Tak jarang gue batuk-batuk sendiri, karena gue gak suka asap rokok.

Jarak dari sini ke sekolah sekitar 400 meter lagi. Tanpa pikir panjang, gue keluar dari angkot karena lebih memilih jalan kaki ke sekolah.

“Ini Mang,” gue menyodorkan beberapa lembar uang ribuan secara tiba-tiba membuat sang sopir agak terkejut.

“Lah Neng, kenapa turun? Kan belum sampai.”

“Saya jalan kaki aja Mang, gak jauh lagi kok,” jawab gue, lalu bergegas pergi setelah mamang sopir mengambil ongkos.

Gue berlari kecil di trotoar dengan peluh keringat menemani napas gue yang ngos-ngosan. Sebenarnya jaraknya udah dekat tapi entah kenapa kayak jauh banget, gak sampai-sampai. Lagi-lagi gue melirik arloji, dan ternyata kali ini gue gak beruntung. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua menit dan itu artinya upacara mungkin baru mulai.

Shit.

Gue lari sekencang-kencangnya berharap gerbang sekolah belum ditutup karena biasanya kalau sudah jam tujuh lewat gerbang pasti ditutup oleh satpam.

Setelah jarak gue tinggal bebearapa meter lagi, gue melihat gerbang sudah digeser setengah oleh satpam.

“PAKK, TOLONG JANGAN DITUTUP,” sergahan gue membuat pak satpam berhenti menutup pagar.

Langkah gue berhenti saat tapakan gue tepat berada di depan pagar. Gue masih mengatur napas dengan tubuh sedikit membungkuk dan kedua tangan menapak di lutut, berusaha menopang tubuh. Beberapa tetes keringat pun terlihat mengucur pelan di wajah gue.

“Phak, tho-long jha-nghan dih-tuthup phliiss,” lirih gue.

“Saya tutup nih Neng, kalau Eneng masih disana,” tegas pak satpam seraya melanjutkan menutup gerbang membuat gue mengerjap sadar dan sedetik kemudian menegakkan tubuh lalu berlari kecil melewati gerbang.

“Maka-sih pak,” cengir gue dengan tangan yang sedari tadi menyikap keringat. Tanpa berpikir panjang, gue langsung ngacir masuk ke halaman upacara setelah melempar tas asal-asalan di salah satu koridor terdekat.

Shit.

Upacara sudah di mulai dan gue cuma melongo melihat mereka yang sedang hormat kepada pembina upacara dari salah satu sudut lapangan. Kepala gue tertoleh saat suara teriakan memanggil gue dari arah samping.

“Sini kamu!” teriak seorang guru wanita yang masih terlihat muda itu dari arah gedung kantor yang letaknya berhadapan dengan tiang bendera.

Gue berusaha menelan saliva seraya berjalan menuju guru BK yang biasa di panggil Bu Jena itu. Setelah tiba, gue bisa melihat tatapan sengit Bu Jena.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kulkas Boy [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang