"Kenapa lama sekali?"
Ryo terdiam canggung. Dia sedikit terkejut dengan respon Clara yang tiba-tiba saja memeluknya. Ryo mengangkat setengah lengannya, dia bingung apakah harus membalas pelukan Clara atau tidak.
Ryo menurunkan tangan kirinya dan menggunakan tangan kanannya untuk menepuk pelan pundak Clara, manakala gadis itu membenamkan wajahnya di pelukan Ryo dan menangis semakin terisak.
"Sorry," gumam Ryo lirih.
꧁༒••༒꧂"Ibu, orang yang seperti apa?" tanya Clara.
Ryo sedikit mengerucutkan bibirnya, dia menengadah menatap langit malam itu. Rena adalah orang yang seperti apa? Ryo mengernyit tipis.
"Rena itu, ceria?"
"Ceria?"
"Dia bebas, berani, percaya diri, dan..."
"Dan cantik?" sahut Clara.
"Ya... Rena emang cantik sih. Tapi, yang paling penting dari itu semua, dia orang yang baik dan peduli," lanjut Ryo.
Clara menoleh ke arah Ryo yang berjalan di sebelahnya.
"Apa menurut kamu, ibu tipe orang yang seperti itu?"
"Seperti itu gimana?" tanya Ryo bingung.
"Itu... maksudku, apa mungkin ibu orang yang akan melakukan kesalahan seburuk itu? Maksudku,"
"Soal kehamilannya?"
"Iya..."
Ekspresi wajah Ryo nampak berubah, nampak sedih. Ryo menghela napasnya dalam-dalam. Rena bukan orang yang gegabah. Dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampak ke depannya.
Ryo menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak tahu, saat ini memang hal seperti itu nampak tidak mungkin dilakukan oleh Rena. Tapi, siapa yang tahu nanti? Clara yang melihat ekspresi Ryo, ikut menekuk wajahnya lesu.
"Saat tahu kalau aku anak yang lahir di luar hubungan pernikahan, aku sedih banget. Kadang aku mikir, apa ibu pernah coba bunuh aku waktu masih di kandungan dulu? Atau ibu pernah coba buang aku setelah ngelahirin aku? Aku selalu mikirin itu," ujar Clara.
"Gue nggak tahu ibu seperti apa, Rena di mata lo. Tapi, Rena di mata gue bukan orang yang sejahat itu. Dia nggak akan mungkin bunuh nyawa darah dagingnya sendiri."
"Manusia itu, kalau sedang terdesak biasanya akan melakukan hal-hal di luar nalar. Membunuh merupakan salah satunya," sahut Clara membuat Ryo terdiam.
꧁༒••༒꧂"Ma! Maafin Rena, Ma!"
Rena duduk bertimpuh di depan mamanya. Arina, wanita tua yang berumur hampir setengah abad dengan tulang rahang tegas dan tampilan yang masih cukup bugar. Wajah wanita itu nampak lelah menahan kekecewaannya terhadap putri satu-satunya yang sangat dia banggakan. Air matanya mengalir, tidak peduli dengan mimik angkuh yang sudah berusaha dipasang oleh si empu wajah.
Ayah Rena, Handoko. Hanya duduk memunggungi keduanya, menatap nanar ke luar jendela. Harga dirinya sangat terluka dan dia merasa sangat marah sekaligus sedih.
"Rena bener-bener nggak bisa hilangin bayi di perut Rena! Bagaimanapun juga, dia anak Rena! Cucu Mama!" ucap Rena terisak.
"Mama nggak pernah minta cucu dari kamu!"
"Ma! Tolong jangan kaya gini!"
"Mama nggak mau kamu hancur! Mama udah... Mama udah berusaha didik kamu jadi wanita yang cerdas dan berpendidikan. Mama udah keluarin banyak usaha biar kamu jadi wanita yang hebat! Mama nggak mau kalau kamu jadi hancur gara-gara anak di perut kamu itu! Sampai matipun Mama nggak akan mau nerima anak kamu dan laki-laki itu untuk jadi bagian dari keluarga Mama!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Grand De Fleur [hiatus] II
FantasíaClara tidak pernah menyangka jika ucapannya didengar oleh malaikat. Sekarang dia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia ucapkan.