3.

54 16 12
                                    

Pintu kamar Sungwoo terbuka lebar, suara keras pintu yang menghantam dinding tak cukup untuk membangunkan Seungwoo yang tidurnya sudah tak jelas posisinya—tubuhnya tak lagi beralaskan kasur, bantal dan selimutnya berpencar ke sudut kamar, kaki kan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pintu kamar Sungwoo terbuka lebar, suara keras pintu yang menghantam dinding tak cukup untuk membangunkan Seungwoo yang tidurnya sudah tak jelas posisinya—tubuhnya tak lagi beralaskan kasur, bantal dan selimutnya berpencar ke sudut kamar, kaki kanannya merentang ke dinding, kakinya yang lain melipat di bawahnya, bajunya sudah tersingkap sampai ke atas dada.

Sunhwa hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat betapa malangnya posisi tidur adiknya itu. "Seungwoo-ya!" Yang tidur hanya menggaruk perut six pack-nya, bibirnya meracau tak jelas, seperti anak ayam yang baru belajar berciap.

Melihat wajahnya yang penuh dengan lebam membuat Sunhwa merasa bersalah, sejak awal ia tak pernah setuju dengan keputusan adiknya untuk menjadi seorang petarung. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Jika saja ia bisa memberikan kehidupan yang lebih layak untuk Seungwoo mungkin bocah itu tak akan memilih jalan ini.

Pernah sekali Sunhwa tak sengaja membaca obrolan seungwoo dengan salah satu temannya, Im Sejun. Sejak saat itu ia tahu alasan lain di balik keinginan Seungwoo bergabung dengan tim mereka—ia tak perlu membayar biaya pendaftaran ataupun keanggotan dan bayaran mereka cukup tinggi setiap kali memenangkan pertandingan, ia juga mendapatkan asuransi sebagai jaminannya.

Tapi apa daya, ia tak bisa mencegah keinginan adiknya. Bocah ingusan itu sekarang sudah menjadi pria dewasa dan Sunhwa tak bisa melarangnya untuk melakukan apapun. Bahkan dirinya sendiri selalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai ia tak sempat mengucapkan selamat atas kemenangan Seungwoo.

"Selamat atas kemenanganmu!" lirihnya. Lebih baik mengatakannya saat ini, bocah itu tak akan bangun, akan terasa sangat canggung jika mengatakannya saat bocah itu sadar. Sunhwa meletakan bingkisan berukuran cukup besar di dekat pintu Seungwoo sebelum kembali menutupnya.

***

"Han Seungwoo!" teriak Seola, kakinya menendang pintu beberapakali. Kedua tangannya terlalu sibuk membawa panci panas berisi ramyeon untuk mengetuk pintu. "Ya! Buka pintunya!" Jika orang lain mendengarnya, pastilah mereka akan mengira jika seorang rentenir sedang menagih hutang.

Dunia mimpi Seungwoo yang indah seakan diterpa bencana saat mendengar suara Seola. Layaknya alarm alami, Seungwoo langsung terduduk dan membuka matanya. Seungwoo mengerang malas, ia menggaruk dan mengacak rambutnya yang sudah berantakan. "Dia datang ... Dia sudah datang," gumamnya sambil menendang bantal di dekat kakinya kesal.

Tendangan di pintu itu semakin menjadi-jadi. Seungwoo segera membuka pintu, "Kau benar-benar seorang preman!" gerutunya. Tanpa permisi Seola melewati Seungwoo langsung masuk ke dalam dan meletakan panci itu di atas meja. Seungwoo hanya menyeret kakinya mengikuti Seola.

Mata Seola tertuju pada boks kue di meja. "Kau membeli kue?"

 "Kau membeli kue?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Himawari | Han Seungwoo x SeolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang