[21]

3.3K 510 66
                                    

Hampir sebulan berlalu, keputusan temen-temen belum Irene terima. Sejak insiden kelam itu hubungan mereka sedikit renggang, bukan cuma antara teman tapi juga antara Mami. Walau mereka masih suka ngumpul atau nginep di rumah keluarga Hwang, interaksinya nggak banyak dan Irene sadar ada tembok besar yang mulai buat jarak diantara mereka.

"Krys, ngapain disini woy? Dingin tau," tegur Seulgi. Ikutan duduk di sofa balkon. Jaket tebal melekat di tubuh, cuaca buruk akhir-akhir ini.

"Katanya dingin, ngapain ikutan nyusul tolol."

"Ya kasian lo sendirian. Kalo ada setan gimana coba?"

"Bodo amat. Setannya palingan juga takut liat muka gue," sungut Krystal kesal, recehnya Jisoo mulai nular ke Seulgi.

Hampir sebulan penuh juga mereka nginep di rumah keluarga Hwang. Udah berasa hidup mandiri banget; masak sendiri, bangun pagi pake bantuan alarm, uang jajan nyolong dari celengan, cuci baju sendiri, kadang mereka juga kerja paruh waktu di cafe kalo hari Minggu sekalian cari tambahan uang. Para Mami juga diem aja, sama sekali nggak kontak atau jemput anak-anaknya buat disuruh pulang.

Leo, pamannya Wendy sama Jisoo juga sering dateng akhir-akhir ini setelah dengar kalo adik kesayangannya meninggal. Tapi dari kesepuluh cewek itu belum ada yang cerita hal sebenernya kenapa Tiffany bisa meninggal.

"Gue malu banget sebenernya masih bisa disini," ucap Krystal pecah keheningan. Tumpu dagunya pake satu tangan, pandangan lurus tatap langit malam.

"Kita semua juga gitu, Krys. Beruntung Wendy sama Jisoo masih terima kita semua disini. Terlebih Kak Irene yang..."

Pembicaraan berhenti disitu. Irene yang sekarang udah kayak emak bagi mereka, mungkin yang paling ngerasain sakit dua kali lipat. Kenyataan kalo dia baru tau Tiffany ternyata Ibunya setelah wanita itu pergi.

Krystal bisa denger seminggu lalu isak tangis Irene dari kamarnya. Rasa bersalah yang semakin besar muncul di dada, sesak. Di sisi lain mereka bersembilan heran gimana bisa Irene tetep keliatan baik-baik aja setelah semua ini. Bahkan masih setia nunggu keputusan mereka tanpa dituntut sekalipun.

"Ini berat sekaligus nyesek, Krys. Di satu sisi kita nggak bisa lepasin Mami semudah itu sedangkan rasa bersalah atas kematian Tante Tiffany juga terus pengaruhi kita."

Yang diucapin Seulgi itu bener, tiap hari mereka selalu dibebani sama keputusan itu.

"Gue nggak tau harus gimana, apalagi Yeri yang tolak keras keputusan buat laporin Mami." Krystal hela napas panjang, remas rambut panjangnya frustasi.

"Lo sendiri gimana, Krys? Rela Mami lo pergi?"

Krystal noleh ke arah Seulgi. Berusaha pahami apa yang lagi dipikirin cewek itu lewat sorot matanya yang redup.

"Nggak tau. Lo sendiri gimana, Gi?"

Kedengeran tawa kecil dari Seulgi. "Gue juga nggak tau. Tapi kalo dipikir-pikir lagi emang Mami pantes dapet itu."

Tatapan nggak percaya dari Krystal bisa Seulgi rasain. Ada tuntutan alasan atas ucapan Seulgi barusan lewat sorot mata tajamnya.

"Bukan berarti gue mau laporin Mami gitu aja loh. Cuma kalo gue pikir secara logikanya emang Mami pantes dapet jeratan hukum."

"Alasannya? Gue tau kalo disini Mami gue yang paling berdosa dan punya tanggung jawab penuh. Tapi kalo Tante Yuri, keliatannya dia wanita baik-baik deh," ucap Krystal. Bayangin sosok keren Yuri dan tingkah konyolnya, dia nggak liat sesuatu buruk dari wanita itu.

"Mami bisa punya mobil bagus, rumah mewah, dan kebutuhan yang cukup itu karena hasil kerja di masa lalu. Pekerjaannya di masa lalu itu yang buat dia langsung nurut begitu Tante Jess ancam."

Neighbor | BlackVelvet ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang