[22]

3.4K 488 72
                                    

Enam bulan.

Sama sekali belum ada keputusan apa-apa. Rasa bimbang sepenuhnya kuasai pikiran sama perasaan anak-anak itu. Tembok penghalang yang jadi sebab kerenggangan mereka tambah tinggi dari sebelumnya. Ada pula rasa takut yang berlebihan.

Malam itu habis makan malam kesepuluh cewek yang belakangan sifat receh dan nakalnya hilang, kumpul di ruang tengah rumah keluarga Hwang.

Irene sebagai yang paling tua berdiri di depan jadi pusat perhatian sembilan orang yang lain.

"Gimana?" tanya Irene langsung ke inti.

Persis kayak beberapa bulan lalu, nggak ada satupun yang langsung jawab tegas tanpa rasa bimbang. Ini bukan hal yang mudah.

Wendy sama Jisoo tatap penuh pengharapan keputusan bakal final malam ini. Irene hitung dalam hati, tepat setelah angka enam puluh belum ada yang bisa jawab.

"Kalian masih ragu juga? Mau sampe kapan?" Jisoo, anak itu udah nggak bisa tahan amarahnya. Wajahnya udah didominasi warna merah.

Yeri hela napas panjang. "Kak, ini nggak segampang lo balikin telapak tangan."

"Terus lo pikir ikhlasin Mami sendiri meninggal hal yang gampang gitu? Gue udah bisa sabar ya nunggu keputusan kalian selama ini."

Yeri yang paling sulit kontrol emosinya reflek ikutan berdiri, suasana mulai panas. "Gue juga nggak mau ya jadi anak dari pembunuh kayak gitu. Tapi nggak mudah juga lepasin mereka setelah semua kenangan dari masa lalu. Lo juga harusnya hargain kita dong."

Jisoo dibuat ketawa sinis sama ucapan Yeri barusan. "Pembunuh mana yang mesti dihargain gue tanya?"

Yeri diem, yang lain juga tetep diem termasuk Irene. Nggak ada satupun yang mau lerai mereka. Mungkin selain hubungan mereka jadi renggang, rasa peduli satu sama lain juga sedikit berkurang.

Tangis Yeri pecah. Anak itu langsung keluar nggak tau kemana. Sembilan orang yang tersisa sama sekali nggak ada niatan mau ngejar atau tenangin, termasuk Jennie.

"Udahlah, gue capek." Krystal berdiri, pengen ikutan Yeri keluar cari udara, tapi Wendy langsung cegah lewat tarikan di kerah baju.

"Kalo bukan karena rasa cemburu Mami lo, ini semua nggak bakal kejadian! Dan lo bilang capek? Dipikir yang paling punya tanggung jawab besar disini siapa?" Dalam satu tarikan napas dan Wendy keluarin semua unek-uneknya.

Krystal sama sekali nggak kasih respon. Ada rasa sesal dan capek dari sorot matanya. Sebelum akhirnya pergi tanpa sepatah katapun.

Semuanya ikutan nyusul, kecuali Jisoo yang milih ke kamar Tiffany. Sampe cuma ada Irene dan Wendy di ruangan itu.

Wendy hempasin tubuhnya di sofa, rasa depresi kerasa kuat di sekitarnya. Irene, nggak tau apa yang lagi dipikirin cewek itu. Wendy yang biasanya peka kali ini nggak bisa tangkap perasaan Irene lewat tingkah lakunya.

"Apa yang lo pikirin, Kak?" tanya Wendy pelan.

Dengusan kasar kedengeran waktu Irene duduk di sofa tunggal depan Wendy. "Sakit."

Wendy sedikit miris, sadar kalo disini bukan dia satu-satunya yang ngerasa paling stress. Mungkin justru Irene yang paling rapuh.

Disaat kayak gini dimana dia yang paling ngerasain sakit, Irene tetep berpikir secara logis dan bisa kendaliin emosi. Sabar tungguin keputusan yang lain.

"Kenapa nggak dilaporin langsung tanpa harus tunggu mereka? Jelas lo juga yang bakal menang," usul Wendy.

Irene geleng sebagai jawaban. Nggak ada lagi percakapan selanjutnya buat waktu yang lama.

Neighbor | BlackVelvet ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang