tidak bisa dipungkiri, ibu amat menyukai candala. bahkan kak wildan dan ayah pun menyukainya.
kata ibu, candala itu gadis ramah. kalau kata ayah, candala cantik seperti ibu. lalu kak wildan menyebut candala menggemaskan.
sepertinya semakin besar usahaku untuk memilikimu candala, lampu hijau nih.
selasa hari ini candala menghabiskan harinya disini, rumahku.
entah apa yang sekolah rencanakan tapi semua siswa-siswi dititah untuk pulang cepat, bahkan yang biasanya pulang jam tiga sore hari ini sma palawa membubarkan para siswa-siswi di jam satu siang.
ah, ibu sedikit menyebalkan hari ini.
candala harusnya mendatangiku, menemaniku, kenapa ibu yang asik bersenda-gurau disana?
mungkin karena tatapanku yang terarah ke dapur dengan penuh kedengkian membuat kak wildan tertawa terbahak-bahak.
"hhhahaaahahahaha, ada yang cemburu!"
aku hanya mendengus lalu dengan cepat menjatuhkan diri di sofa dengan malas, kak wildan mengekori.
"sono dong!" usirku, namun tak ia gubris.
alhasil, aku uring-uringan dihadapannya. beberapa kali menendang kakinya, dan tentu kak wildan tidak tinggal diam, dia malah dengan semangat membalas ya sebut saja bertengkar.
"a-azka?"
aku membeku, itu suara candala. maaf kalau candala mengetahui sifat burukku yang ini.
nampaknya kak wildan bangkit, dan sempat berceletuk saat melewati candala.
"jangan sama ibu mulu, la. azkanya marah noh."
hingga membuat tawa si cantik menggelegar, tentu ibu hanya kebingungan.
"ibu, pinjem candala nya. ibu kan sudah sedari tadi, aku bawa ke bangku depan dulu ya!"
☆★☆★
disana arunika seolah ijin pamit, membuat taruni di sebelahku sedari tadi hanya diam dengan tenang.
beberapa kali kutawarkan seperti,
"la, mau minum coklat hangat?"
"la, lapar enggak?"
balasannya biasa saja, mengangguk dan menggeleng.
tak kuat melihat puanku murung, aku berdeham sebelum kuraih tangannya.
"kamu pernah bilang kalau kamu suka nulis?"
maniknya betah menatap manikku. tak keberatan, toh ini amat indah. cuaca di jam lima sore, aku saling tatap bersama gadis yang selalu kupuji.
"iya, aku suka menulis." jawab candala.
jemariku yang entah dari kapan sudah mengusap tenang tangan si puan, membuat senyumnya merekah perlahan.
"makanya ーcandala. bisa jadikan aku diary mu? tumpahkan apa yang kamu rasakan."
mata indahnya tiada henti menatapku resah, gadisku malang. aku terus memberi ketenangan lewat sentuhan tangan.
kenapa matanya?
kenapa candala menangis?
aku dibuat bingung, yang aku lakukan hanya menatap dirinya dengan telaten.
"aku mau cerita."
lirihnya amat pelan, dengan sigap aku mengangguk dan bersiap untuk mendengarkan ceritanya.
"liat bunda mu, aku kangen mamah. mereka mirip, suka memasak, ramah, suka berkebun juga."
aku tidak tahu ibu menceritakan dirinya pada candala, sampai membuat candala sedih. maaf candala.
"maaf kalau ajak kamu kesini malah buat jadi sedih, maaf ya?" tuturku hati-hati.
candala mengusap ujung matanya yang berair, lalu menggeleng. "bukan begitu, azka. aku seneng bisa kenal tante zara, bener-bener ngingetin ke mamah."
"kalau ini lancang, jangan dijawab ya la?"
dia hanya menautkan alisnya, "apa?"
"mamah mu pergi sejak kapan?" sungguh, jantungku berdesir melihat tatapan yang dikeluarkan candala.
"sejak aku berumur 12 tahun, mamah meninggal. dia sedang menyebrangi jalanan dan saat itu mobil kencang menabraknya, aku dan kakak ku menyaksikan dengan langsung kejadiannya."
nasib yang buruk, namun tak usah terpuruk. ada aku disini, candala. maniknya terus mengeluarkan bening-bening air, aku mencoba mengusap pundaknya beberapa kali, mungkin ini bisa menenangkanmu candala?
"kamu kan gadis yang baik, jangan terlalu sedihin mamah kamu ya? mamah kamu disana bangga punya anak kaya kamu."
☆★☆★☆★
udah lama bangeeeeeetttt :(
KAMU SEDANG MEMBACA
candala
Фанфіки☆★ . 𝐂andala, hawa yang semangat dalam menjalani hiruk pikuk dunia nyata. 〔 lowercased // canceriast, agustus 2020 〕