2- BISA DIBANGGAKAN?

164 76 100
                                    

"Gimana sekolahnya? Menyenangkan?" tanya wanita paruh baya itu sambil memasukkan beberapa donat ke kotak bekal milik Afra. Desi-Ibu Afra.

"B aja," ucap Afra tenang dengan memasukkan biskuit rasa coklat ke dalam mulutnya itu.

"Kamu ga diet gitu, Ra?" sumpah demi apapun, Desi selalu saja bertanya seperti itu. Entah sudah keberapa kalinya Afra mendengarkan pertanyaan bodoh itu. Afra diam, menghampiri Desi dan mengambil kotak bekal itu lalu menyalimi ibunya. Dengan berjalan tergopoh-gopoh, seperti hampir terlambat sekolah saja. Tapi tidak, jam masih menunjukkan pukul enam lebih seperempat. Afra murid yang disiplin.

Desi menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah putri semata wayangnya itu. Sudah banyak saran yang diberikan pada anaknya itu, tetapi tetap sama, tidak mau melakukannya. Mulai disuruh ke salon, diet sehat, rajin olahraga, skincare-an, masih banyak lagi. Afra keukeuh tidak mau.

Bahkan, Desi menyuruh untuk operasi plastik, justru Afra marah pada Desi, dan mendiamkan ibunya selama tiga hari. Padahal itu hanya bercanda, tapi Afra sangat mudah untuk merajuk. Desi hanya ingin berubah lebih baik, supaya Afra cepat mendapatkan pacar dan dikenalkan dengannya. Bukankah itu yang menyenangkan?.

"Mama tunggu kamu berubah, sayang. Mama ga maksa kamu. Tapi mama yakin, kamu pasti berubah."

***

Lapangan olahraga sangat ramai sekali. Pak Jeo kini tampak sibuk mengajari siswa-siswi kelas X IPS 3 latihan lompat jauh. Semuanya sudah berlatih. Eh tapi tunggu, Pak Jeo melihat buku absen sekali lagi, seperti ada yang janggal. Dan benar, kurang satu murid lagi yang ketinggalan.

"Afra Mauretta Septembri, ayo maju!" semua murid menatap Afra dengan tatapan menggelikan. Suara umpatan kini didengar oleh Afra.

"Emang bisa, ya,"

"Gembrot mana bisa,"

"Paling, juga jatoh duluan,"

"Gentong air beraksi lur."

Apa yang dibilang mereka benar. Afra menundukkan kepalanya, yakin kalau dia pasti bisa. Walaupun itu pasti tidak mungkin. Tapi dicoba dulu boleh bukan?.

"Gue tetep dukung lo. Semangat, Ra!" ucap Cika dengan mengepalkan kedua tangannya menghadap wajah Afra. Afra tersenyum getir menatap Cika. Afra tahu, kalau Cika hanya menenangkan suasana hatinya seperti disambar petir. Afra juga bingung, kenapa Cika mau berteman dengannya. Apa dia tidak malu?. Sungguh sahabat yang baik, tidak memandang kekurangan sahabatnya. Afra suka.

Dilangkahkan kedua kakinya maju, walaupun rasanya berat sekali. Afra mulai berancang-ancang, lari, lalu hampir saja dia mendekati garis finish, dia jatuh tersungkur. Sontak semua murid yang ada di lapangan menertawakannya.

Dari sebelah ujung sana, tampak tiga laki-laki tertawa kencang sekali, sambil memegangi perutnya yang tidak sakit, sampai terbatuk-batuk juga. Alvian, Bagas, dan Revan. Siapa lagi kalau bukan mereka. Seseorang yang selalu menertawakan orang lain diatas penderitaannya.

Fyi, mereka bertiga sekelas dengan Afra dan Cika juga. Tapi jarang sekali masuk kelas, ya, pasti bolos. Dasar! Mentang-mentang anak kepala sekolah saja semena-mena.

"Du-uhh..pa-pasti lo jatuh juga, kan." ucap Alvian tertawa kencang sambil memegangi perutnya. Selucu itukah?.

Afra meringis kesakitan, tangannya sedikit lecet. Ia menatap Alvian yang masih saja tertawa. Kini, matanya mulai berkaca-kaca. Hm, sudah berapa kali Afra selalu menjadi bahan tawaan banyak orang. Ia ingin bunuh diri saja rasanya. Tapi ia tahu, kalau itu perbuatan keji. Sudahlah.

AFRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang