Air berwarna bening itu jatuh dari mata gadis berambut sebahu. Ia kini rapuh, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Rasanya ingin menghilang saja dari bumi.
Oh, jangan.
"Gue benci!"
"Gue jelek!"
"Gue gendut!"
"Gue jerawatan!"
Umpat Afra sambil menendang-nendang kakinya. Rambutnya kini sudah berantakan tak beraturan. Matanya sembab, seragam sekolah berwarna putih abu-abu itu sudah lusuh dan lecek.
Jalanan sepi sekali. Tidak ada motor ataupun mobil berlalu-lalang. Ia berjalan dengan pelan, seperti orang gila saja. Tak tau arah kemana.
Tiba-tiba ia berhenti.
"CAFFE BRESTA"
Ia melihat ada sebuah kafe. Tangannya kini beralih ke saku bajunya. Ia merogoh lembaran uang di dalamnya. Ya, uang sakunya utuh. Ia hari ini tidak beli jajan ataupun ke kantin. Sudah tahu kan, alasan Afra kenapa tidak kantin?
Kalo tidak. Baca dengan teliti part sebelumnya, ya. -Author.
Afra kini berjalan menuju kafe tersebut, yang tak jauh dari sekolahnya. Pelan-pelan ia membuka pintu kafe itu.
"Guys, cekrek dulu yuk,"
"Skuy lah,"
"Sayang deketan, dong!"
"Buruan."
Itulah suara yang terdengar di telinga Afra. Banyak remaja yang nongki disitu. Meja pojok terdapat gerombolan remaja laki-laki dan perempuan. Tampaknya sedang triple date. Tapi mungkin lebih, karena Afra tidak terlalu cermat menatapnya.
Kini ia memilih duduk di dekat jendela. Supaya bisa melihat suasana luar. Baru saja ia ingin mendudukkan tubuhnya ke kursi, Afra teringat sesuatu. Dengan cepat-cepat ia keluar dari kafe. Sampai menyenggol pintu kafe. Membuat pelanggan yang ada disitu melihatnya dengan tatapan heran. Ada apa dengan anak ini, pikir mereka.
***
Alvian tampak jengah, ia tidak suka dengan situasi ini. Melihat dua orang wanita yang di hadapannya berbincang-bincang ria, dan mengabaikan dirinya. Sungguh menyebalkan sekali.
Karena tidak tahu ia harus melakukan apa, dikeluarkan lah ponsel miliknya dari celana jeans berwarna denim itu. Jemarinya mulai lincah menggeser-geser layar menu. Walaupun tidak ada sama sekali notif yang keluar.
Heh, lo pada pernah kan pada situasi ini?
"Anakmu kemana, Des?" tanya wanita paruh baya yang seumuran dengan Desi.
"Aku juga ga tau Gita, mungkin pulang sekolah mampir kali ya, di rumah temennya," wanita yang bernama Gita itu mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
Tok tok tok..
Desi dan Gita menoleh ke arah pintu. Sedangkan Alvian, tetap fokus pada benda pipih itu. "Aku buka pintu dulu Git," Gita menjawabnya dengan senyuman.
Desi berjalan ke arah pintu. Ia berpikir, pasti Afra. Saat Desi membuka pintu, tebakannya benar. Yang datang adalah Afra. "Assalamu'alaikum, Ma," ucap Afra sambil mencium punggung tangan Desi. "Wa'alaikumsalam, sayang. Ayo masuk dulu," Desi menuntun Afra untuk masuk ke dalam.
Desi berpikir, tampilan Afra begitu berantakan, matanya juga kelihatan seperti habis menangis. Apa mungkin ada masalah? Ia tidak ingin bertanya, karena Afra baru saja pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFRA
Novela Juvenil[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA] Apa yang dirasakan jika kalian terkena body shaming? Sakit, ya. Inilah yang dirasakan Afra Mauretta Septembri. Hari-harinya selalu terkena buli di sekolah. Dan tak lain yang membuli nya adalah Alvian Deandro Pratama...