"Aaron, cepat! Pak Grey sudah menunggu!" sahut ibu, memanggilku yang tengah memilih-milih pakaian untuk kukenakan.
"Sebentar bu!" balasku.
Hampir tidak pernah dalam hidupku aku "memilih-milih" pakaian. Bukan hanya karena pakaianku sedikit, dan juga sebenarnya pakaian-pakaianku tidak terlalu berbeda satu dengan yang lainnya.
Aku menarik satu pasang pakaian yang menurutku paling bagus. Aku pun langsung memakainya dan melangkah keluar.
"Ayo berangkat. Jangan sampai kamu terlambat." Ujar Pak Grey, mengingatkan.
Mungkin dari runtutan kejadian ini, sudah jelas aku ingin bepergian ke suatu tempat yang amat pentung. Ya, pada hari inilah aku akan ke ibukota dan menghadapi tes masuk di Knight's Academy, kelas sihir.
Perasaan semangat, takut, penasaran, semua itu bercampur menjadi sebuah ramuan yang membuat jantungku berdentum tak beraturan.
Aku pun melangkah keluar rumah dan tepat di hadapanku, sebuah kereta kuda tua sudah menantiku.
"Aaron berangkat dulu ya, pak, bu." Pamitku sembari menyalimi dan mencium tangan mereka.
Ibu pun mengelus kepalaku, "Iya, hati-hati dijalan ya."
Aku pun menaiki kereta kuda itu, disusul oleh Pak Grey yang menunggangi si kuda.
Kuda pun ia pacu. Suara ringkihannya langsung disambung oleh suara derapan kaki-kakinya. Aku pun melambai-lambaikan tanganku ke bapak dan ibu yang kian lama terlihat mengecil.
Aku pun memandang ke depan, membiarkan embusan angin menerpa wajahku. Rumah-rumah sederhana, ladang-ladang gandum, dan hamparan rumput hijau sejauh mata memandang. Itulah pemandangan yang tiap hari kulihat. Aku amat penasaran akan seperti apa pemandangan di ibukota. Yang pastinya, semuanya akan terlihat jauh lebih mewah dibanding di desa.
Di tengah perjalanan, seketika aku teringat alasan bapak mengizinkanku. Pak Grey yang katanya "mengurusnya". Itu membuatku penasaran. Bagaimana Pak Grey bisa meyakinkan bapakku yang amat keras kepala itu? Aku belum sempat menanyakan itu saat berterima kasih padanya kemarin.
"Pak Grey, bagaimana bapak bisa membuat bapakku mengizinkanku?"
"Ah, mudah saja." Balasnya singkat.
Ia pun terdiam setelah itu. Apakah bapak bercanda? Balasan itu tidak menjawab pertanyaanku. Bisa saja dengan jawabannya, aku jadi tahu bagaimana cara membuat bapakku mengizinkanku melakukan berbagai hal yang ia larang.
"Ayolah pak, beritahu aku." Pintaku dengan memelas.
"Heheh, belum saatnya kamu boleh tahu." Jawabnya.
Aku membuang nafas, pasrah dengan mendengar jawaban terakhirnya. Yah, walaupun aku masih penasaran, aku terlalu malas untuk terus menanyakan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting bagiku. Toh, tidak begitu banyak hal yang ingin kulakukan yang melanggar peraturan bapakku.
~ ~ ~
Posisi mentari yang awalnya baru saja terbit kini sudah berada di atas kepalaku. Pemandangan yang tadi hamparan rumput kini menjadi lebatnya pepohonan sejauh mata memandang. Sepertinya aku sempat tertidur tadi.
"Bagaimana? Tidurmu nyenyak?" Tegur Pak Grey, membenarkan gumananku tadi.
"Maaf pak, aku kurang tidur semalam, hehe."
Ya ... bagaimana aku bisa tidur di malam sebelum hari terbesarku?
"Apakah masih jauh?" tanyaku iseng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magician's Heart
FantasyAaron Timber, seorang anak remaja yang tinggal di desa tepat di pinggiran luar ibukota. Dengan kondisi keluarganya yang "seadanya" dia memiliki impian menjadi seorang penyihir terhebat di dunia. Akankah dia, seorang anak desa biasa, menggapai impian...