Aku terbangun dalam sebuah ruangan hitam nan gelap. Tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali diriku, dengan kedua tangan dan kakiku yang terikat rantai.
Aku menggeliat, mencoba melepaskan diriku dari ikatan rantai ini. Sia-sia. Memang seharusnya aku tidak mencobanya dari awal. Mana mungkin badan kurusku ini melepas ikatan dari rantai.
Sebuah jendela berbentuk persegi panjang berukuran besar tiba-tiba terpampang di hadapanku. Sosok anak laki-laki berambut coklat terlihat sedang berlarian di sebuah padang rumput yang luas, mengejar seorang anak perempuan berambut hitam lurus sepunggung. Tempat itu, anak laki-laki itu ... tidak salah lagi, itu adalah diri kecilku saat masih tinggal di kota Rune.
"Haha ... tangkap aku kalau bisa!" sahut anak perempuan itu dengan nafasnya yang terengah-engah.
Anak laki-laki itu pun mengangkat tangannya ke arah anak perempuan itu.
"Rasakan ini! Sambaran petir!" sahutnya, mencoba untuk melancarkan sihir.
Tentunya, sesuai ingatanku aku belum bisa melancarkan tehnik sihir apapun saat itu. Namun, entah bagaimana, rantai yang mengikatku seketika bergetar.
Jendela itu tiba-tiba menggelap. Lalu, perlahan-lahan mulai terlihat pemandangan lain dari balik jendela itu.
Itu diriku lagi. Kali ini aku melihatnya sedang mendengarkan cerita tentang penyihir terhebat di dunia, pahlawan kota Rune, putri Runia.
Ya, aku masih ingat sekali kejadian itu. Bagaimana tidak? Berulang kali kupinta ibuku untuk bercerita tentangnya. Dan tiap kali setelah ibuku bercerita, aku suka mengkhayal melancarkan tehnik-tehnik sihir milik sang putri itu.
"Hujan petir!" sahut diri kecilku di atas ranjang tidur.
Rantai kembali bergetar. Dan sama seperti tadi, jendela menggelap dan kembali terang dengan pemandangan lain.
Rangakaian kejadian itu terus berulang dan semua pemandangannya adalah saat-saat aku mencoba untuk melancarkan sihir. Mau itu dari saatku masih hanya berkhayal, sampai aku benar-benar berlatih dengan Pak Grey. Dan setelah entah berapa lama, tibalah pemandangan saatku ujian.
Bola api, air dan Earth Spike kulancarkan. Getaran rantai semakin kencang, bahkan sampai mematahkan satu dua sisi mata rantai ini. Dan tepat saat aku melancarkan tehnik sambaran petir, rantai yang mengikatku bergetar amat kencang dengan suara ledakkan yang mengiringinya. Tepat setelah itu, pandanganku dipenuhi cahaya, dengan suara berdering yang nyaring di telingaku. Namun, disamping itu, aku bisa merasakan bahwa aku sudah terbebas dari ikatan rantai itu.
***
Perlahan aku membuka mata, diiringi denganku menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mencari tahu dimana aku sekarang.
"Ah, kamu sudah bangun!" sahut seseorang yang duduk di atas kursi, tepat di kiriku.
Itu Kak Mary. Dan setelah aku melihat-lihat sekitar, sepertinya aku tengah terbaring di atas ranjang dalam sebuah klinik.
"Bagaimana? Kamu baik-baik saja?" tannyanya mencemaskanku.
"Ah, iya. Aku baik-baik saja." Jawabku sambil mengangguk.
Dia menghela nafas, "Syukurlah ... Em, apa kamu bisa berdiri?"
Perlahan aku beranjak dari ranjang. Ya, dengan mudah aku bisa menapakkan kedua kakiku ke tanah. Hanya saja aku merasa sedikit lemas.
"Baik, sekarang ikuti aku. Ibu Jane ingin membicarkan soal ujianmu."
"U-Ujian?! Ba-Bagaimana?! A-Apakah aku lulus?!" tanyaku setengah berteriak, penuh dengan rasa semangat dan penasaran. Dan sepertinya, rasa lemasku mendadak hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magician's Heart
FantasyAaron Timber, seorang anak remaja yang tinggal di desa tepat di pinggiran luar ibukota. Dengan kondisi keluarganya yang "seadanya" dia memiliki impian menjadi seorang penyihir terhebat di dunia. Akankah dia, seorang anak desa biasa, menggapai impian...