"Baik, cukup sampai situ saja hari ini." Ibu Jane menutup kelas untuk hari ini.
Lonceng tanda kegiatan belajar mengajar pun berdentang. Semua teman sekelasku pun beranjak dari bangku mereka. Aku hendak menyertai mereka, namun tiba-tiba ....
"Aaron, mohon menetap sebentar. Ibu ingin membahas soal pelajaran sihir tambahanmu."
Aku pun kembali terduduk di bangkuku, menunggu perintah berikutnya dari beliau.
"Berhubung Kak Mary telah tiada, Ann akan menggantikannya mulai hari ini."
Tu-Tunggu, apakah aku tidak salah dengar? A-Ann?! Di-Dia kan yang--.
"Ah iya ... aku hampir lupa. Untung saja aku belum pulang, hehe ...."
GLEK ... Dia benar-benar disini! Ta-Tapi bagaimana?!
Dengan patah-patah, aku berusaha menoleh ke arahnya. Senyuman sadisnya masih sama seperti saat dia ... membunuh Kak Mary.
"Heheh ... sudah kubilang dari awal, bocah desa. Kau seharusnya menyerah saat ujian waktu itu. Tapi karena kau bersikeras untuk berada disini ... AKAN KUSAMAKAN NASIBMU DENGAN GURU TERCINTAMU ITU ...!"
Senyumannya kini tidak bisa dijuluki dengan julukan "sadis" lagi. Senyumannya lebih layak dijuluki dengan senyuman "membunuh".
Aku ingin berlari namun, hanya untuk sekedar berpaling darinya aku tidak bisa. Aku takut, benar-benar takut. Sahutan "tolong!" sembari tadi sudah kudengungkan. Namun, tidak ada yang mendengar, seakan-akan di ruangan ini hanya tinggal aku dan sosok mengerikan yang ada di hadapanku.
Pandanganku menggelap, disertai badanku yang kian lama kian melemas. Apakah dia ... benar-benar akan membunuhku?
***
"Aaah!!"
Siluet mentari pagi tiba-tiba menerjap mataku yang baru saja terbuka. Nafasku berderu kencang tak terkendali, badanku basah bersimbah keringat. Perlahan, aku mencoba untuk mengendalikan deruan nafasku itu.
Cuman mimpi buruk rupanya. Ah, tidak keren sekali. Malam terakhirku di rumah harus di akhiri dengan mimpi mengerikan seperti itu. Aku pun beranjak bangun dari kasurku, mengambil pakaian ganti, dan langsung melangkah menuju kamar mandi. Ini adalah hari yang besar bagiku, dan aku tidak ingin memulainya dengan kelalaian dalam waktu.
Dalam langkah-langkahku menuju kamar mandi, aku dapat melihat Ibu yang tengah menyiapkan sarapan untukku. Beliau menyapaku sambil tersenyum.
Badanku terasa berkali lipat lebih bugar setelah terguyur air beberapa ember. Sekarang aku hanya harus persiapan dan sarapan. Oh, perihal persiapan, aku tidak diwajibkan untuk membawa pakaian dari rumah. Pihak Akademi sudah menyediakan itu semua, dari pakaian seragam hingga pakaian sehari-hari.
Sungguh, mengetahui hal itu menghilangkan kekhawatiranku tentang pakaian. Tidak bisa kubayangkan jika harus mengenakan pakaian yang – kalau di kota – sudah dijadikan keset rumah mereka.
"Kak, Pak Grey sudah datang!" sahut Ibu, memanggilku yang tengah menyiapkan beberapa barang yang hendak kubawa. Contohnya seperti buku catatan, pena dengan botol tintanya tentunya, dan buku kisah sang pahlawan yang kuidolakan, buku kisah Putri Runia.
Ya, walaupun buku ini terlihat begitu "keanak-anakan", buku inilah yang membuatku memulai pertualanganku mengejar cita-citaku. Alasanku membawa buku ini hanya untuk membuatku tidak lupa dengan cita-citaku.
"Iya bu, aku datang!"
Semua barang-barangku kumasukan ke dalam koper milik Bapak yang dulu di pakai saat kami sekeluarga pindah dari kota Rune. Aku pun melangkah keluar kamar dengan tangan kananku yang agak kesulitan membawa koper itu. Bukan karena beratnya, tapi karena ukurannya yang agak terlalu besar untuk melalui pintu kamarku.
Aku pun melangkah keluar rumah. Kedua orangtuaku dan Pak Grey sudah menungguku.
"Hati-hati di jalan ya, kak." Pesan Ibu sembari aku tengah mengecup punggung tangannya. Beliau rupanya juga mengelus-elus pucuk kepalaku.
"Semangat, kak. Kakak pasti bisa menggapai impian Kakak dan membuka segel sihir itu." Sambung Bapak. Namun, entah mengapa ekspresinya terlihat gusar saat mengatakan sesuatu tentang segel sihir. Ekspresinya sama persis seperti saat pertama kali kuceritakan pada mereka mengenai hal itu. Tapi saat kutanyakan padanya, beliau hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu". Aku mempercayainya. Lagipula, mana mungkin seorang ayah berbohong kepada anaknya sendiri? Terutama terkait dengan hal sepenting itu. Ah, mungkin beliau hanya mencemaskanku.
Hal yang sama kulakukan pada Bapak. Aku pun hendak memandang wajah mereka untuk terakhir kalinya, walaupun sejujurnya kutahu aku pastinya tidak akan kuat menahan derasnya air mataku nanti. Sekilas, hanya sekilas aku mampu memandang wajah mereka.
Aku pun langsung menaiki kereta kuda itu. Melihat aku sudah naik, Pak Grey menyusul dengan menaiki pelana kudanya. Dan ya ... sebenci-bencinya aku melakukannya, sudah sepatutnya aku melakukannya.
Aku memandang kembali kedua orangtuaku, kali ini dengan kedua mataku yang berkaca-kaca. Rasa khawatir dan rindu terhadap mereka seketika membludak dari dalam diriku, padahal kami sama sekali belum terpisah satu detik pun.
Wajah mereka tidak berbanding terbalik denganku. Kedua mata mereka juga berkaca-kaca, namun mereka masih tetap memaksakan untuk mengukir sebuah senyuman di wajah mereka. Ekspresi itu ... benar-benar menyayat hatiku.
Air mataku hampir menetes. Ah! Aku tidak boleh menangis, karena aku yakin mereka akan lebih sedih jika aku menangis. Buru-buru aku mengusap air mataku sembari mengukir sebuah senyuman – yang sebenarnya juga terpaksa.
"Kakak akan baik-baik saja disana, Ibu dan Bapak jangan khawatir!" Ujarku dengan intonasi bicara yang kubuat seriang mungkin.
Mereka terkekeh kecil mendengarnya, dan air mata mereka rupanya tumpah sedikit.
"Haha ... baik kalau begitu. Nanti kalau libur Ibu akan buatkan nasi kare favoritmu." Hibur Ibu, berusaha mencerahkan suasana menyedihkan ini.
Aku menyengir lebar. "Hei Aaron, bukannya aku bermaksud mengganggu perpisahanmu dengan orangtuam. Tapi kita benar-benar harus berangkat jika tidak mau terlambat." Tegur Pak Grey dengan nada berbisik.
"Baiklah, Ibu. Kakak berangkat dulu, ya!"
Setelah kalimat itu kulontarkan, kuda pun dipecut dan mulai berlari.
"Dadah! Bapak, Ibu! Kakak akan merindukan kalian!" Sahutku kepada mereka yang berusaha mengejarku.
"Iya! Kami juga! Kami menyayangimu, Aaron!"
Dengan buru-buru aku langsung memalingkan pandangan dari mereka. Dan disaat itulah air mataku tumpah sejadi-jadinya. Rupanya kamu tidak akan tahu seberapa kamu mencintai seseorang sampai kamu berpisah dengan mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Magician's Heart
FantastikAaron Timber, seorang anak remaja yang tinggal di desa tepat di pinggiran luar ibukota. Dengan kondisi keluarganya yang "seadanya" dia memiliki impian menjadi seorang penyihir terhebat di dunia. Akankah dia, seorang anak desa biasa, menggapai impian...