•Human Non-Bumi•

974 117 6
                                    

Happy Reading!

PRINCESS PRICELESS.



“Entahlah, Lang. Hati gue bilang, bukan dia yang selama ini gue cari.” Dihembusnya napas lambat-lambat. Perasaannya mendua, antara iya dan tidak.

Gilang menyeruput kopi hangat buatan kafe yang sedang mereka datangi ketika pulang sekolah. “Emang, temen kecil lo itu, siapa namanya?”

Inilah mengapa Ryan tidak pernah melibatkan sahabat karibnya didalam urusan. Otak mereka payah dan tidak berpikir jauh seperti yang dilakukan teman 'asing' nya. Akibat emosi, Ryan menggeplak kepala Gilang dengan buku tebal materi Olimpiade-nya, “Kalau tau, udah dari jaman bahenol gue ketemu dia!”

Bukannya meringis malu, Gilang malah cengengesan dengan wajah menyebalkan, “Cewek banyak yang punya rambut panjang cokelat, Bor.” Gilang melipat tangan diatas meja, “Lo kenal istilah glow up, kan?”

Kali ini Ryan mengangguk menyetujui. Benar juga, bagaimana kalau orang yang sedang dia cari sudah dewasa dan pandai membuat rambut berwarna-warni? Atau paling tidak, dipotong lebih pendek hingga membuat penampilan semakin pecah? “Betul juga.”

“Ganti pertanyaan, deh. Sifat dominasi dia waktu kecil, gimana?”

Ryan menatap Gilang lama, menurunkan pandangam kearah asap yang keluar dari gelas kopinya. Memorinya merambah pada ulasan masa lalu, menggerakkan bibir tanpa sadar. “Paling ceria dan suka senyum. Terlalu childis, tapi emang karena kami masih kecil waktu itu. Dan, satu-satunya memori yang masih membekas, dia suka bunga Edelweiss. Terus gue pergi, bikin dia murung lagi. Enggak tau, deh, gimana kabarnya sekarang.” Kemudian Ryan menyudahi deskripsian memori yang dia ingat, dengan utasan senyum kecil. Dia membalas tatapan Gilang yang berubah lekat, seperti berusaha mengingat sesuatu.

Tidak mengindahkan, Ryan menyeruput kopi miliknya yang sudah siap disantap.

“Sifat childis dan ciri-ciri yang lo bilang. Gue pernah liat cewek itu.” Akibat kalimat barusan, Gilang terkena apesnya sendiri. Disembur cairan yang keluar dari mulut Ryan yang membuat emosi memuncak sampai ke ujung tanduk seketika. “Bangsat! Kaget, sih, kaget. Enggak usah berubah jadi naga sialan juga!” Dumalnya kesal, merampas tisu yang disodorkan Ryan.

“Sori-sori.” Bahkan permintaannya tidak terdengar tulus sebab ingin cepat-cepat mendapat informasi lanjut, “Terus-terus?”

Gilang menjauhkan kepala kala Ryan menyodorkan wajah lebih dekat, “Nggak tau kebenarannya, tapi gue liat dia di toko buku sama si Azam.” Dan kalimatnya kali ini, membuat mata Ryan hampir saja menggelinding keluar dari tempatnya. “Biasa aja bisa, nggak, sih?” Merasa kesal sendiri dengan ekspresi lebay yang Ryan tampilkan.

“Enggak bisa! Ini tuh bisnis departemen yang visi dan misi nya belum mendapat secercah pencerahan!”

Gilang memutar bola mata dengan malas, “Iya pula, kalau enggak?”

“Emang lo liat di toko buku mana? Dibagian buku apa?”

Orang kebelet rindu, seperti ini ya jadinya? Pertanyaan-nya tidak dikira-kira. “Udah dikasir buat bayar. Di salah satu mall.” Terlanjur mood down, Gilang berubah datar dan malas. Baru saja berkedip satu kali, dan Ryan sudah menghilang dipenglihatan. “Tuh anak sekalinya bucin udah kek orang sarap.”

Sembari memasang sabuk dan memundurkan mobilio merah, Ryan bermonolog sendiri, “Kok bisa sama si Curut, ya?” Dia mulai melaju diatas aspal yang lancar siang ini. Kekehan hambar menggema didalam rubrik kendaraan empat, “Dasar makhluk Neptunus!” Betulan planet yang mencerminkan sifat dingin Azam akibat terlampau jauh dari matahari.

Manusia es dan misterius yang pandai berkelit dalam diam.

•  •  •

“Lo mau bawa kemana, Zam? Tau gue minta jemput aja tadi sama sopir.” Ditengah halauan angin kencang, Nia menggerutu pelan. Jika ditanya senang, tentu saja jawabannya iya sekali. Tapi, situasi perut yang tidak mendukung lebih mendominasi.

“Nggak pa-pa. Sesekali.” Jawab Azam enteng.

Perut gue keroncongan, woi, elah! Lunch dulu, kek.’ Tidak mungkin Nia berani berteriak isi hatinya secara lisan. Nekat? Artinya siap dicaplok mentah-mentah.

“Keberatan?”

“Ya enggak lah!” Sekate-kate dia. Mau diperjuangan sisa napas terakhir pun, namanya berduaan bersama orang kesukaan, orang goblok mana yang keberatan?!

“Yaudah.” Azam menikung tajam dipersimpangan, aksinya membuat orang dibelakang memekik tertahan seraya mencengkram jaket yang dia kenakan.

“Gila, ya, lo?! Dengkul gue satu senti lagi nyentuh aspal tau, nggak!” Oceh Nia kesal, degupan jantung belum hilang namun Azam tidak mau juga memelankan laju motor di stapak kecil, “Mana dipersimpangan lagi, kalau sempat ada mobil dari arah depan, terus lo lagi nikung dan enggak sempet nge-rem gimana? Lagian, ini jalan kecil, Zam. Pelanin lagi laju motor lo! Astaghfirullah...”

Bertepatan dengan itu, Azam menghentikan motor secara mendadak. Melepas helm dari kepala tanpa memedulikan Nia yang kembali melemparkan protes. “Kecepatan lima puluh kilo meter per jam bersamaan dengan penyelesaian lima kalimat menghasilkan waktu sepuluh sekon. Jadi, mau lanjut?”

Kalau saja ada tampol tidak bisa dipandang dengan kasat mata, sudah Nia manifestasikan sekarang juga. Dia hanya bisa mencebik, lalu menatap sekitar tanpa mau turun dari motor disaat sang pemilik sudah dahulu meninggalkan ditengah hutan kecil ini. Ada satu rumah yang tampak minimalis dan terurus didepan mata. “Hati, miris banget sih, suka sama manusia aneh.” Gumam Nia risau sendiri, “Boro-boro lunch, disuruh turun dari motor aja kagak.” Wajah Nia merengut masam, “Ditawari masuk aja enggak, Nia...” Semakin menjadi-jadi.

“Heh!”

Nia cepat-cepat mengangkat pandangan, lelaki asing berambut gondrong berdiri didepan pintu. Ini rumah Azam, kan? Itu adik Azam? Kakak Azam? Ah, dia tidak bisa asal menebak orang super introvert itu!

“Lo disuruh masuk. Cepetan. Sepuluh detik sebelum dikunci dari dalam sama Azam.” Perjelas Mario lalu berbalik masuk.

“Eh, eh!” Nia buru-buru turun dari motor. Bagaimana pun, tetap ada juga rasa takut terhadap lingkungan asing yang belum pernah dia pijak. Memasuki rumah yang terasa adem dan wangi. Namun, manusia didalamnya berhasil membuat Nia hampir lupa cara bernapas. Mereka tidak berdua, bertiga, bahkan bersepuluh. Jauh dari angka itu, mereka tidak terkira!

Dilihatnya punggung Azam sudah memasuki salah satu ruangan, di ekori dengan personil lain tanpa memedulikannya hingga kembali tersisa seorang diri. Nia menghela napas kasar, menyusuri lekuk rumah yang indah dan terawat.

Semua lelaki disini bisa menjaga kebersihan juga? Di novel yang sering dia baca, base camp anak nakal sama seperti sarang ular. Lusuh dan gelap. Namun justru yang ada didepan mata seperti rumah berpenghuni anggota keluarga bahagia yang lengkap.

Lima belas menit berlalu, Nia menggelosorkan kepala disandaran sofa. Akibat memiliki crush cuek dan misterius seperti makhluk mars, ya begini nasibnya. Tidak bisa ditebak, apalagi dijamah. Sekalinya doi marah, layaknya planet Mars yang langsung mengeluarkan api merah.

Sama sekali tidak mencerminkan manusia bumi pada umumnya. Human satu itu Non-Bumi sepertinya.

Baru saja dipikirkan, orangnya sudah mengirimkan pesan saja. Meski sangat singkat, namun membuat senyum Nia terukir seketika.

5 mnt lg kelar, jgn macam2 klo msh pngen aman.

•  •  •

HUWAAHHH MAKIN SERU NGGAK, TUH? 😱

Terima kasih udah vote dan komen! ❤



The Princess Priceless.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang