•Kembalinya Jiwa Bar-Bar•

1.4K 159 18
                                    


HAPPY READING!

PRINCESS PRICELESS


Bagi Ara, masa menstruasi adalah masa yang penuh perjuangan dan melelahkan. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menahan nyeri ditubuh, dan merasa sudah menanggung beban hidup yang paling berat. Mata bengkak, adalah efek samping paling menonjol.

Dan kini, mentang-mentang sudah bisa kembali ber-aktivitas seperti semula, kakinya selalu dibawa kesana-kemari tidak kenal lelah. Mengambil keperluan alat kasir dari kamar untuk ditaruh diatas meja kecil diruang keluarga. Sebenarnya bisa bermain dikamar, namun dia tidak mau jika tidak ada wujud Azam diruangan yang sedang dia huni.

“Ajim, geser kesana!” Tanpa aba-aba, Ara langsung mendorong bahu Azam menjauh yang sedang santai duduk disofa, mengerahkan seluruh tenaga hanya untuk menurunkan kaki Azam dari atas meja.

Azam berdecak, membenarkan earphphone-nya yang sempat terlonggar dan berdiri untuk menjauhi Ara, duduk disofa yang lain dengan pandangan fokus ke layar handphone kembali.

Ara mengangkat pandangan untuk menatap Azam yang sejak tadi selalu berbicara seolah sedang membalas sebuah ucapan yang datang. Kemarin saja waktu sakit, dia diperhatikan dan dimanja, semua kehendaknya dituruti dengan senang hati. Giliran sudah sembuh, si Menyebalkan itu sibuk dan melupakannya seolah tidak ada dia didunia. Huh!

“Ajim! Ajim masih belajar Olimpiade, ya?”

“He'em.” Balas Azam setelah sebelumnya sempat bergumam sendiri.

Ara mengerucut, yang membuatnya kesal adalah, Azam tampak asik mengobrol dan tidak seperti sedang belajar. Dan naas-nya, Ara tidak bisa mengerti ucapan yang Azam lontarkan meski sudah dia coba berkali-kali. “Ajim, masa permen Ara nggak ada yang beli? Coba—”

“Nggak ada duit.” Kalau tidak bergerak tanggap, maka lemparan sekonyong-konyong Ara sudah dipastikan melengket kewajahnya.

“Ara belum selesai ngomong!” Ara berteriak dengan kabutan emosi. Segera berdiri dan berlari kekamar.

“Yaudah, iya, sini!” Panggil Azam kembali, tidak terlalu niat karena pandangannya tetap fokus ke benda pipih ditangan. Tak merasakan ada tanda-tanda kemunculan Ara, membuatnya berdecak malas. Melepas earphone dan menyimpan handphone disaku celana. Berniat menyusul Ara yang mungkin sedang mengamuk sambil mengobrak-abrik isi kamarnya.

“Den, waktu makan-nya non Ara, kan?”

Azam melihat jarum jam didinding. Mengangguk untuk memberi jawaban iya seraya mengambil piring dari tangan bi Inem. Melewati undakan demi undakan dengan santai, satu tangan yang bebas disimpan disaku training. Betul saja, jika bertanya siapa orang yang paling ampuh menaikkan tengsin seorang, maka Ara jawabannya.

Mulai dari buku paket, tulis, dan segala macam temannya, sudah berserakan dilantai. Sang empu biang, dia temukan sedang melompat-lompatkan tubuh diatas peralatan sekolah yang bersepah. Darah emosinya semakin teruji saja. Percuma berteriak, Azam menaruh piring diatas nakas untuk segera menghentikan aksi Kocheng Oren bar-bar. Menyelamatkan segera gitar kesayangannya dari ancaman bantingan.

“ARGH! AJIM JAUH-JAUH!” Ara berlari menjauhi Azam, menghempaskan diri kekasur dan menadadak menjadi ulat cabai disana.

“Nakal amat, sih!” Azam mencengkram kertas tak terpakai, dilempar sampai mengenai kepala Ara. Kemudian menarik napas dalam-dalam, dihembuskan perlahan. Menambah kadar kesabaran agar emosi ingin memakan Ara hidup-hidup tidak berlaku sungguhan. Cukup menguji adrenalin-nya, membenahi barang yang berserak dengan kekesalan memuncak.

The Princess Priceless.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang