•Saling Menerima•

1K 125 13
                                    

Ada dua sifat manusia normal dibumi. Ekstrovert dan introvert. Masing-masing memiliki alasan sendiri  dan kalian enggak mungkin bisa menuntut lebih hanya karena ingin mereka berubah seperti yang kalian mau. Sesulit itu kah, untuk saling menerima?
    -Azam Mode Keki-

Ini namanya bukan konferensi meja bundar, mereka semua yang duduk tidak berani lagi mengeluarkan suara setelah diberi kata-kata menusuk dari sasaran tema rapat.

Manusia-manusia yang mengisi padat kursi-kursi panjang hanya bisa menunduk dalam. Mereka telak, tidak ada kuasa lebih untuk lanjut mengelak.

“Apes ngikut saran lo, Bran. Sok-sok meja bundar tapi kita berakhir gini!” Meski tidak mengeluarkan suara, jelas sekali bisikan Daren penuh tekanan dikalimatnya. Dibalas dengusan oleh Gibran, lalu mendekat kekupingnya.

“Ya, gua mana tau akhirnya malah jadi gini, sialan.”

“Ya bodo amat, pokoknya salah lu!”

“Salahin aja gue terus, salahin!”

“Emang salah. Off baperan.”

“Bangsat.”

Mereka dengan situasi sunyi, mendadak terlonjak karena pintu rapat dibuka kasar. Pelaku malah cengengesan sambil merapatkan kembali pintu.

“Ini kenapa, dah? Tegang amat kek di ruang BK.” Ujar Exel santai, seenak bokong menyempil diantara personil yang membuat mereka berdecak. Ingin protes, namun nanti membangkitkan lahar Leader.

Exel masih belum mengerti keadaan, dia mendongak menatap Azam yang sedang menyalang kearah wajahnya, “Diluar siapa, Boss?” Tanyanya dengan wajah tanpa dosa. Tidak memiliki salah, kepala belakangnya ditoser keras.

“Kalau telat, cepat adaptasi kek, babi.” Bisik salah seorang member didekat Exel.

Azam berdiri dari duduk, “Yaudah, lah. Leave that.” Dia keluar dari barisan duduk padat dan berjalan diantara kaki-kaki, “Gue tau perasaan kalian. Tapi, enggak ada tenggang bagi siapapun.” Sifat tertutup, tidak mudah dirubah. Apalagi, ditengah misi ini.

Azam berbalik untuk menatap teman-temannya yang mulai berdiri. Jaket sudah tersampir dibahu kokoh, “Gue pulang.”

Dari sekian banyak manusia, hanya Exel yang paling berani dan tidak takut mati. Dia malah dengan santainya membalas pernyataan Azam dengan pertanyaan, “Oke. Tapi, enggak mau tenggang bagian cewek diluar itu, gitu? Itung-itung, buat ilangin presepsi awal gue: ngira lo homo.”

“Terserah.” Mata Azam memicing intimidasi, yang ditatap malah tercengir tidak merasa terintimidasi oleh tatapan elang. Lelaki itu kebal terhadap hukum, Azam sedang lelah bertumpah bogem sekarang.

Personil lain meringis. Yang ditatap siapa, yang merinding malah mereka.

“Berarti, tuh cewek berharga bagi lo, boss? First time, nih, soalnya lo bawa pasangan dating kesini.” Seharusnya dia sudah harus merasa terancam, namun rasa penasaran mengalihkan segalanya. Terserah ingin di apakan oleh Azam yang penting jiwa kepo-nya terjawabkan.

“Lo enggak lagi cari mati, kan, Selsel?” Tanya Gibran dari samping dengan bisikan. Dibalas suara keras membuatnya berdecak sambil mengurut pangkal hidung.

“Enggak lah, Brain, aih.”

Azam menggulirkan mata kesamping, lepas pandang dari anggotanya, “Karena enggak berharga maka gue umbar.” Kemudian tanpa aba-aba berbalik badan, tidak meninggalkan sepatah kata sudah menutup pintu dengan sedikit bantingan.

The Princess Priceless.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang