Aku bertemu dengannya di swalayan dekat rumahku. Karena tidak terlalu ramai di sekitar sini, kupikir aneh, baru kali ini aku melihatnya belanja di sini. Dari gelagatnya, seperti bukan seseorang yang tinggal jauh dari sini. Begitu seingatku.Hari-hari berganti, aku semakin sering berpapasan dengannya di swalayan, ini makin membuatku merasa aneh dan penasaran. Suatu ketika, aku beranikan diri untuk menyapa. Dia tersenyum padaku dan semenjak itu aku terus menunggunya di depan swalayan. Aku tak menduga sebelumnya, kita semakin sering bicara dan makin akrab bertukar cerita, tapi ya hanya di swalayan itu saja. Menikmati sebotol teh yang kubeli sambil mengamati sore hari. Kupikir, aku harus meminta nomor ponselnya. Butuh waktu mengumpulkan keberanian dan hari itu tiba juga, aku bersemangat untuk itu. Lalu lintas hari ini tampak macet, tumben sekali. Mungkin setelah aku minta nomor ponselnya, kami bisa saling bercerita lewat pesan singkat atau telpon. Aku menunggu hingga hari mulai malam, sepertinya dia tidak membeli sesuatu hari ini dan di hari-hari berikutnya.
Aku selalu bersenang-senang dengan waktu. Tidak satu pun hal yang ingin kulewatkan, tapi apakah dia melewatkanku hari ini? Aku tak merasakan tanda kehadirannya.
"Mungkin itu hanya pertemuan yang singkat." pikirku sambil menatap sebotol teh.
Mulai saat itu, aku tak pernah menunggunya lagi saat swalayan itu ditutup karena masalah sengketa lahan dan perizinan usaha.
Lagi, lagi dan lagi aku jadi terbiasa memandangi langit yang berwarna jingga kemerahan menjelang magrib. Kadang aku memukul jidatku karena kupikir aku sedang menunggunya. Niat yang tak pernah tersampaikan dan rasa penasaran itu terus datang sampai menjelang tidurku. Semenjak merasakannya, aku sering bangun kesiangan. Kurasa dia menanamkan kenangan dalam hatiku. Temanku bilang, "Itu hanya sebuah kebetulan yang luar biasa, bertemu dengan seseorang yang kupikir tak akan seperti ini jadinya." kuiyakan saja.
Sungguh tak terasa waktu berjalan dan sudah hampir genap dua tahun, swalayan itu dibuka kembali. Setelah selesai dengan sengketa yang cukup panjang dan sedikit perbaikan bangunan, kini tempat itu tampak cantik. Mungkin aku jadi pelanggan pertama yang kembali menikmati sore hari di sana dengan cuaca yang sangat bersahabat di musim kemarau. Bayang-bayang itu masih belum hilang di pikiranku. Aku masih saja mengingat hari-hari dimana kita saling berbagi cerita di sini.
"Ahh... Di mana kamu?"
Aku terjebak hari yang sibuk dan malam itu aku berencana menghadiri acara pesta di rumah temanku. Kupacu sepeda motorku ingin segera sampai di rumah dan bersiap. Saat melintas di depan swalayan itu sekilas tampak seseorang sedang duduk di tempat biasa aku memandangi sore hari sepulang kerja, tapi berhubung aku dalam keadaan kencang dan buru-buru, kupikir itu bukan apa apa.
Besoknya, kutanyakan pada penjaga kasir yang bertugas di sana. Dia berkata tidak tau karena pada saat itu bukan di waktu jam kerjanya, tapi dia menambahkan kalau yang bertugas hari itu akan masuk lusa nanti. Jantungku tak merasa tenang sampai seorang penjaga kasir yang bertugas waktu itu membenarkan kalau ada seorang wanita yang duduk di sana sore itu.
"Nah, itu orangnya!" aku terkejut saat kasir swalayan itu menunjuk seseorang yang baru saja masuk sambil menatapku yang tengah berdiri di depan meja kasir.
Aku sempat berpikir apakah ini mimpi, tapi ternyata bukan dia yang aku cari. Entah apa yang dia lakukan padaku sampai aku harus memikirkannya setiap hari. Aku mulai putus asa.
"Setiap hari terasa sangat lambat, menahan rasa tidak sabar tanpa tau harus apa, menyebalkan." kutulis quote sebagai captions di status sosmedku.
Tak ada gunanya memikirkan itu lagi, aku memutuskan untuk mengenangnya saja sebagai pertemuan yang tak terduga. Seperti kata temanku, mungkin aku tak seharusnya berlebihan. Meski sudah tak ada lagi rasa gelisah itu, semua kebiasaan itu menjadi keseruan tersendiri. Seolah tanpa beban layaknya orang kehilangan, aku mengingatnya dengan senyum manis di sisa senja.
Saat lamunanku sedang jauh, seorang wanita datang menghampiriku. Tanpa ragu dia langsung duduk di sebelahku dengan membawa cemilan kecil. Dia tersenyum padaku dan menawarkan cemilannya padaku. Aku yang tiba-tiba kaget langsung menatapnya tajam.
"Kamu yang tanyak tentang aku ke kasir waktu itukan?" tanya wanita itu padaku membuka percakapan.
Kujawab berbagai pertanyaan yang dilontarkannya termasuk pertanyaan tentang siapa yang sedang aku cari.
"Aku memang lagi mencari seseorang, tapi sekarang aku sudah tak terlalu menghawatirkannya lagi." jawabku padanya menjelaskan situasi yang kualami.
Dia hanyak tertawa, ntah apa yang lucu dariku. Aku mencoba tak terlalu peduli dengan responnya.
"Kamu tau? Dia ada di sini." wanita itu menunjuk ponsel di genggamannya.
Aku terkejut dan reflek langsung mengarahkan pandanganku pada ponselnya. Kemudian dia bercerita bahwa dia adalah adik dari seseorang yang selalu kutunggu kehadirannya itu. Dia berkata saat ini kakaknya sedang jauh dan dia mendapat pesan dari kakaknya untuk menemuiku dan meminta maaf saat itu dia tidak berkata apa apa sebelum pergi. Kebetulan sekali, aku tidak sulit di cari.
Terbalas sudah penantianku, meski tidak sepenuhnya puas, namun cerita kali ini aku berhasil mendapatkan nomor ponselnya bahkan berbagi WhatsApp dan berteman di akun sosial media. Hari-hari berlalu dengan pesan singkat dan telpon yang disempatkan dalam kesempatan di lain kesibukan. Semua terasa sangat hebat, mendebarkan dan rindu sekaligus.
"Hey, coba kirimkan foto senja di sana, sekarang." pesan singkat darinya melalui WhatsApp chat.
Aku pun bergegas memotret gambar di tempat biasa aku dan dia duduk bersama di depan swalayan. Kucoba ambil gambar sebagus mungkin dari posisi yang tepat. Memperlihatkan sebuah pemandangan mentari yang berwarna jingga kemerahan itu bersama sebotol teh yang baru saja keluar dari kulkas swalayan.
"Waktu semakin cepat berlalu saat perasaanmu sedang bahagia-bahagianya." kutulis quote itu sebagai captions status di sosial mediaku dengan foto yang kukirimkan padanya.
Ya, memang begitu. Tak terasa 7 bulan berjalan mulus. Dia berkata akan pulang di akhir bulan. Rasa tidak sabar dan canggung menjadi hal baru setelah lama tak bertemu dan ditambah beberapa hari lagi adalah hari ulang tahunnya. Aku bersemangat sampai aku lupa kalau adiknya sudah sangat berjasa padaku. Mungkin aku harus menemuinya dan memberikannya sesuatu sebagai tanda terimakasihku.
Lagi-lagi urusanku terasa dipermudah, hingga apapun yang kurencanakan hari itu sesuai dengan rancangan. Kubelikan adiknya sebuah jam tangan. Bukan karena kemauannya tapi karena insting dari hatiku yang memaknai setiap suara detak dan detik jarumnya sebagai sebuah proses. Dia menerima hadiahku lalu tersenyum. Kami bersenang-senang hingga matahari terbenam, kesenangan itu masih terasa.
Hari yang kutunggu tiba juga, aku tak sabar menyambut kepulangannya. Inginnya aku bertamu kerumahnya, tapi berhubung dia bilang kalau menunggu di swalayan saja jadi aku menuruti kemauannya itu. Sore yang sedikit berangin dan senja yang terlihat kurang semarak, nampaknya akan turun hujan. Kucoba kirimkan pesan singkat padanya. Tak butuh waktu lama dia mengirim balasan. Dia berkata mungkin akan telat karena jalan di kota macet. Mau tidak mau aku harus sedikit lebih lama menunggu. Rasanya sesak. Entah karena rindu atau memang firasat yang tak menentu, jelas aku sedikit harap-harap cemas. Dalam keadaan menunggu kusempatkan menulis quote di status akun media sosialku.
"Wajar, parno di saat perasaan lagi dalam-dalamnya."
Dengan foto berlatar senja bercampur mendung yang ku ambil di depan swalayan. Postinganku sudah mendapatkan banyak reaksi dalam waktu 1 jam dan dia masih belum juga datang.
Benar saja. Langit sudah tidak tahan menanggung beban berat. Hujan pun turun cukup deras namun tidak ada kilat dan petir. Kucoba duduk di teras swalayan sambil makan sedikit cemilan. Dalam derasnya hujan itu muncul mobil taksi berwarna biru yang tiba-tiba saja berhenti di depan swalayan. Jantungku berdebar, bertanya-tanya siapakah yang akan turun dari mobil itu.
"Kumohon, kali ini jangan buat aku kecewa."
To be continued...
