3. Here

19 10 4
                                    

Lagi-lagi, aku terbaring di kasurku. Aku baru saja sadar setelah tertabrak bangsal di rumah sakit. Aku melihat mama yang duduk di kursi samping kasurku. Aku langsung mendapat pelukan erat dari mama, ketika mama melihatku sudah sadar. "Jake, kamu udah sadar?"

“Iya kayaknya, Mah.” Mataku memandang seluruh tubuhku. Mulai dari tangan hingga kaki. Tubuhku rasanya sakit sekali. Perutku terasa sangat keram. Sepertinya, bangsal itu menghantam perutku dengan sangat keras.

“Baiklah, kamu istirahat saja dulu, Jake.” Mama bangkit dari kursinya. “Mama siapkan makan untukmu, ya?”

“Mah,” lirihku menatap mama. Mama yang mau melangkah pergi mendadak terhenti karena panggilanku. “Woeeekkk ....” Aku menutup mulutku dengan tangan dan langsung berlari ke kamar mandi tanpa mempedulikan perutku yang sakit.

“Kamu kenapa, Jake?” Mama mengikutiku.

“Woeeekkk ....” Aku mengeluarkan isi perutku di kamar mandi. Air mataku keluar mewakilkan rasa sakit yang kualami. Rasanya seperti ditusuk dengan ribuan jarum pada perutku.

Mataku yang buram tertutup air mata memandang segenang muntahku. A–apa itu? Kenapa berwarna merah? Aku memuntahkan isi perutku dan membentuk genangan berwarna merah. Baunya sangat menyengat dan anyir. “M–mah, Jake takut, Mah.”

“Astaga, Jake, kamu tak apa?” Mama mendekapku. Mulutku yang masih tersisa bercak darah dan juga muntah menempel di baju putih mama. Menyebabkan noda merah di sana. Aku sesenggukan menahan sakitku.

Mama menunduk menatapku. “Mama panggil dokter untukmu ya, Jake?”

Aku hanya diam dan mama membawaku menuju kamar. Aku naik ke kasur dan berbaring lagi. Menatap kosong kamar gelapku sambil menunggu dokter itu datang. Air mataku tidak kunjung berhenti, disertai meringis sesekali memegang perutku. Hingga akhirnya aku tertidur karena mataku yang sayup-sayup memaksaku untuk terlelap.

‘Mainlah bersamaku, jika kau tidak mau perutmu sakit, Jake!’

***

“Bagaimana, Dok?” tanya mama kepada dokter yang baru saja memeriksaku.

“Jake hanya perlu istirahat lebih banyak.” Dokter itu menuju tas kesehatannya. “Saya akan buatkan resep obat untuk Jake, ya.”

Dokter Brian. Menyeramkan.

Aku memandangnya dengan tatapan heranku. Dokter itu bergerak sangat mencurigakan. Sesekali matanya menatapku dengan tajam. Tapi, aku berusaha untuk tetap memikirkan yang baik-baik saja tentangnya. Tenanglah, Jake.

Sudah saatnya dokter itu kembali ke rumah sakit. Aku melihat dia dengan pikiranku yang kosong. Saat ia berada di kamarku, ia memandangku dengan tatapan yang sama sejak tadi. Dalam dan sangat menusuk.

“Jake, mama antar Dokter Brian ke bawah dulu, ya.”

“Iya, Mah.”

Kamarku kembali sepi. Hanya dentingan jam yang terdengar. Tiba-tiba entah ada suara dari mana, kumendengar seseorang berkata, ‘Kamu kenal dengan dokter itu, Jake? Akan kuberi tau jika kamu tidak mengenalnya, Jake.’

Aku melihat ke langit-langit kamar dan beralih melihat pintu. Dokter Brian? Aku menjawabnya di dalam hati. Ketika kumenjawab, angin berhembus membuka jendela kamarku. Klekkk .... Mataku segera bergerak ke arah jendela.

‘Benar, Jake.’ Tawa tanpa sosok menggelegar di kamarku. Aku merinding mendengarnya. Tiba-tiba saja tangan dan kakiku mendadak kaku. Rasanya, aku mau kabur dari kamarku.

“Siapapun itu. Jangan ganggu aku, tolong!”

‘Tidak, Jake. Aku tidak akan mengganggumu. Tenanglah.’

Popo Doll [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang