8. Murder

15 8 2
                                    

Suara cicak menggema di telingaku. Ck ... ck ... ck .... Yang anehnya, aku tidak melihat seekor cicak itu sekalipun. Suara tikus berlari di loteng rumahku juga terdengar. Mereka berlari dengan cepat. Satu tikus? Dua tikus? Tidak, mungkin tiga sampai lima tikus. Ramai sekali, namun terasa sepi.

Aku menatap langit-langit kamarku yang lapuk. Tatapanku beralih pada lampu semprong di sudut kamarku, api pada lampu semprong bergejolak tertiup angin. Rasanya, hampir setiap hari keadaan cuaca di rumahku ini selalu hujan angin. Apa itu hal yang normal? Padahal sekarang seharusnya musim hujan. Kulirik kalender kayu pada mejaku. Iya, benar! Bulan ini seharusnya adalah musim hujan.

Aku merasakan getaran di tubuhku sebentar. Entah aku bingung menyebutnya apa. Rasanya seperti merinding, ketika angin berhembus melewati belakang leherku. Aku mengusapnya perlahan memastikan tengkukku tidak ada apa-apa. Minimal, aku dalam kondisi aman. Memastikan saja, takut ada serangga yang bisa menggigitku.

Aku memutuskan untuk turun dari kasurku dan memakai sandal. Lalu, aku berjalan menuju meja yang terletak dekat jendela. Sama seperti biasanya, terdengar derit kayu setiap kulangkahkan kakiku. Suara itu amat mengganggu, derit kayu tua yang berisik itu amat mengganggu pendengaranku.

Aku teruskan berjalan menuju meja. Aku ingin mengambil lampu petromaks dan segera bergegas ke lantai bawah. Pikirku, aku tak akan aman di kamar ini, aku tak mau sendirian di kamar. Setidaknya, jika aku pergi ke lantai bawah, aku bisa menemukan mama yang sedang memasak. Setelah berpikir itu, aku pun melirik jam wekerku, jarum jam wekerku menunjukkan pukul 10. Pagi hari ini biasanya mama sedang memasak di dapur.

Setelah mendapati meja dekat pintu kamarku, segera saja aku membuka laci yang berada di bawah meja tersebut. Aku hendak mengambil korek kayu dan cepat-cepat menyalakan lampu tersebut. Aku tidak mau lama-lama di sini! Di sini terlalu gelappppp!!!

“Semoga tidak ada angin yang berhembus kencang. Agar api pada lampu petromaksku dapat menyala dengan mudah. Semoga saja,” ucapku sambil mematikkan api ke sumbu lampu petromaks yang berada di meja.

Setelah lampu petromaksku sudah menyala, aku pun segera meninggalkan kamarku. Um, oh ya aku tidak bisa mengunci kamarku, sebab gagang pintunya rusak sewaktu mama membuka paksa kamarku. Ya, aku masih ingat waktu itu Popo ingin membunuhku. Tapi, masih belum diganti oleh ayah sampai saat ini, padahal sudah lewat beberapa hari yang lalu. Seminggu? Tidak, sepertinya seminggu lebih.

“Popooo, Popooo, where are you? I'm coming ...,” teriakku sambil berlari menuruni tangga.

Aku yang berlari menyebabkan suara derit kayu yang amat berisik. Suaranya memenuhi ruangan. Hingga akhirnya aku sampai ke anak tangga paling bawah. Lalu, benar saja dugaanku, mama sedang memasak. Mama melihat ke arahku dan sepertinya ia ....

“Jake, ngapain kamu lari-lari? Berisik, Jake!” kata mama padaku.

Aku mendengus kasar, aku berkata, “Makanya renovasi rumahnya biar gak berisik. Gitu doang dibawa ribet.”

“Ngomong apa sih kamu, Jake?”

Aku tak menghiraukannya. Aku memilih untuk duduk di sofa setelah aku melihat ada Popo sedang tergeletak di sofa menghadap ke arah televisi. Televisi yang memutar tayangan, um sirkus?

“Hai, Popo,” sapaku lalu duduk di sofa.

“Mulai sekarang aku akan jadi temanmu. Ya, kita berteman sekarang,” kataku.

“Aku akan menjagamu, Popo. Begitupun dirimu akan menjagaku, iya kan? Terima kasih ya, aku sudah lama berharap mempunyai sosok teman. Bagaimana ya menjalaskannya? Oh, begini, tetanggaku tidak ada yang mau berteman denganku, lalu aku juga tidak tau apa alasan mereka tidak mau berteman denganku. Ya sudah, begitulah jadinya kenapa aku sangat senang ternyata ada yang mau berteman denganku dan itulah kamu,” terangku “walau kamu hanya sebuah boneka.”

Tiba-tiba Popo memelototiku. Sial, aku lupa! Aku tidak boleh berkata kalau Popo hanyalah sebuah boneka. Dia bernyawa, dia memiliki pengisi tubuhnya, yaitu sesosok perempuan yang baik katanya. Ya, walau menurutku agak aneh sih, dia menghuni boneka yang berpenampilan cowok.

“Jake, bagaimana kalau kita bermain ke luar rumah?” tanya Popo.

Y-yayy. C'mon, let's play together!” seruku merasa senang. Belum pernah aku merasa sesenang ini.

Aku pun mengangkat Popo dan membawanya menuju taman halaman rumahku. Cuaca hari ini cukup bagus, tidak panas dan juga tidaklah mendung yang menandakan akan turun hujan. Angin bertiup menyapu dedaunan kering yang jatuh dari pohonnya. Aku berjalan menuju sebuah pohon yang terdapat seekor kucing di bawahnya. Entah kenapa naluriku seperti mengikuti naluri Popo untuk ke bawah pohon tersebut.

“Jake, lihat kucing itu! Lucu, menggemaskan bukan? Layak untuk dibunuh! Ha-ha-ha!”

Aku terdiam mendengar ide Popo. Apa iya aku harus membunuh kucing tersebut? Padahal, kucing itu terlihat sangat lucu. Aku tidak tega melakukannya, tapi jika aku tidak melakukannya, Popo pasti kecewa. Aku sangat bingung, gelisah dan tidak tau harus menurutinya apa tidak.

“Ayolah, Jake!”

Aku menatapnya bingung dan berkata, “P–pakai apa membunuhnya? Aku tidak punya apa-apa, Popo.”

Keluarlah sebilah pisau dari baju kodok Popo yang berwarna biru. Aku terkejut melihat pisau itu mirip dengan pisau yang ada di tangan mama tadi saat kulihat mama sedang memasak. Bagaimana caranya? Apa ia merebutnya dari mama? Tapi, kapan? Aku tidak melihatnya.

“Popo, dari mana kamu mendapat pisau itu?” tanyaku heran.

Ia mengalihkan pandangannya dari pisau yang ia genggam menjadi ke arahku. “Dari mamamu, Jake. Kenapa? Kamu keberatan, ya?”

“Tidak sama sekali,” kataku sedikit terpaksa “ayo kita lakukan!”

Raut wajah Popo berubah setelah mendengar jawabanku. Aku yang melihat itu pun perasaan hatiku menjadi panik. Apa iya Popo bisa membaca pikiran dan perasaanku? Tidak, sepertinya sangat tidak mungkin.

“Apa yang kamu pikirkan, Jake?”

Aku tersentak kaget mendapat pertanyaan yang mengejutkanku. “Ah, tidak ada,” alibiku.

Popo menyodorkan pisau yang ada pada genggamannya padaku. Tanganku gemetar hebat ketika hendak menerima pisau tersebut. Pisau tajam yang baru saja mama asah kemarin sore, dengan gagang pisau berwarna merah. Itu sungguh membuatku ngeri dan bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Kenapa?

“Ayo, Jake, lakukan cepatttt!” pekik Popo.

Aku telah memegang pisau tersebut dengan kedua tanganku yang tidak bisa berhenti bergetar. Aku panik dan keringat bercucuran di pelipisku. Jantungku berdetak tidak karuan untuk memompa darah ke seluruh tubuhku.

Semula aku melihat pisau yang berada digenggamanku, aku menoleh ke arah Popo mencari kepastian. Aku, aku tau yang kulakukan ini hal yang salah. T–tapi, aku harus bagaimana? Tuhan, tolong Jakeeee!

Popo mengangguk seakan-akan menyuruhku untuk segera melakukannya. Aku pun kembali fokus kepada pisau yang ada di tanganku. Aku berjalan pelan, kakiku melangkah dengan gemetar, jantungku tak kunjung berdetak dengan normal, keringat pun membasahi wajahku. A–apa aku melakukan hal yang salah? Katakan tidak, tolong siapa sajaaaa!

“AAAAAAA!” teriakku berlari dan memejamkan mata sambil mengacungkan pisau ke atas.

Crettt ....

Arghhhh, miawwww ....

Tanganku ... bau apa ini? Aku melangkah mundur dengan pelan masih dengan mata menutup. Aku mendengar samar-samar suara Popo yang tertawa dengan kencang.

“Ha-ha-ha, iya benar seperti itu, Jake!”

Ti–tidak, apa yang telah kulakukan? Tanganku semakin gemetar hebat, aku melepaskan pisau tersebut jatuh ke tanah dengan berlumuran darah kucing yang baru saja kubunuh. Aku, aku mencoba untuk membuka mataku. Aku, a–apa yang telah kulakukan?

“Ti–tidak, tidak mungkin! Kenapa, kenapa kamu melakukan ini, Jakeeeee?!!!” tanyaku pada diriku sendiri.

Tapi, tapi aku merasa puas dengan apa yang baru saja kulakukan. Air mataku turun dari mataku, turut serta membasahi wajahku. Aku pun terduduk lemas lalu membaringkan tubuhku.

Tanganku kuletakkan pada dahiku, tanganku yang teciprat darah itu kuletakkan pada dahiku. Tanganku menyebabkan noda merah pada dahiku. Masih dengan tangis yang belum berhenti aku pun tertawa dan berteriak, “HA-HA-HA, INI SUNGGUH SERU, POPO!”

Popo Doll [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang