Bagian 8: Lalu (2)

24.9K 2.3K 6
                                    

Selamat membaca! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya, biar aku semakin semangat update. Terima kasih.🤗😘













Baskara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri, lantas membereskan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja, menumpuknya menjadi satu, dan meletakkannya di sisi kanan meja. Lelaki itu bangkit dari kursi putar sembari menyambar tas kerja beserta ponselnya dan bergegas ke luar ruangan. Dilihatnya para bawahan yang masih sibuk beberes.

"Saya pulang duluan, ya. Jangan lupa, pukul tujuh nanti malam, kita kumpul di lobi hotel," pungkas Baskara, kemudian melangkah dengan tergesa-gesa setelah mendapat respons dari bawahannya.

"Tumben banget Pak Kara pulang duluan. Biasanya, dia yang pulang paling akhir," celetuk Puput sambil menatap rekan-rekannya satu per satu. Namun, mereka terlihat tak peduli. Ada pula yang mengedikkan bahu, acuh tak acuh.

"Kita ngopi, yuk. Udah lama banget enggak nongkrong sama kalian. Mumpung kita pulang lebih cepet." Kali ini, Ayu yang membuka suara. Senyum semringah terpatri di bibir merahnya.

"Setujuuu!" Puput langsung menyahut. Jika berhubungan dengan makanan, perempuan itu tak pernah mau ketinggalan. Lihat saja, raut mukanya sekarang terlihat sangat bahagia, seolah-olah baru saja mendapatkan uang sekasur. "Ada kafe di Cikini yang bolunya endeus banget. Kalian harus coba."

"Kalian ikut, 'kan?" Ayu menatap Binar, Raymon, dan Nadia bergantian. Pasalnya, ketiga manusia itu tak ikut nimbrung sejak tadi, sibuk membereskan meja dalam diam.

Binar dan Nadia saling berpandangan, kemudian mengangguk mengiakan.

Lantas, pandangan keempat perempuan itu beralih pada Raymon yang sudah siap menenteng tas kerja. Pandangan mereka seakan-akan tengah bertanya pada lelaki itu.

Raymon yang ditatap pun hanya menyengir sambil menggaruk rambut cepaknya yang tak gatal. "Lain kali aja, ya. Gue masih ada urusan."

"Yaaa, enggak seru lo, Bang. Selalu aja pulang lebih awal, kayak lo punya anak-bini aja," Ayu berkata dengan sewot.

"Kalau ada gimana?" tanya lelaki jangkung itu sambil menaik-turunkan alis, membuat kacamatanya juga ikut bergerak.

"Gila lo, Bang! Kapan lo nikah? Kok, enggak undang kita-kita, sih? Jangan-jangan, lo udah buntingin dia duluan, ya?" Puput memandang laki-laki berkacamata itu dengan tatapan curiga.

"Ngawur aja kalau ngomong. Gini-gini, gue masih perjaka ting-ting." Raymon menyangkal dengan nada bicara yang terdengar sewot, membuat Binar dan Nadia terkikik geli.

"Perjaka tua yang ada," Ayu bergumam sambil membuang muka, tak ingin jika cibirannya didengar oleh Raymon.

"Apa lo bilang? Gue masih bisa denger, ya."

"Udah, udah. Kok, pada ribut, sih? Jadi, pergi enggak, nih? Keburu jam tujuh, lho. Kita juga belum siap-siap. Bang Ray bisa ikut kita kapan-kapan. Mungkin, Bang Ray punya urusan yang enggak bisa ditinggal." Binar yang sedari tadi hanya diam melihat perdebatan mereka, kini ikut berbicara. Pasalnya, dia sangat tahu kalau Raymon memiliki urusan yang jauh lebih penting—menjaga sang mama di rumah sakit—daripada nongkrong di kafe.

Raymon menatap Binar dengan bibir menyunggingkan senyum. Dari sorot mata, dia seolah-olah tengah berterima kasih pada perempuan itu karena telah menyelamatkannya.

Binar membalas Raymon dengan senyum dan tatapan yang tak kalah hangat.

***

Baskara memicingkan mata sembari menyentuh dadanya yang berdebar-debar tak keruan. Memikirkan akan bertemu dengan teman lama sekaligus cinta pertamanya di bangku kuliah membuat lelaki itu gelisah setengah mati. Hampir lima tahun dia tidak pernah bertemu dengan Pelita, tepatnya sejak Pelita menikah dan dirinya memutuskan pergi ke Singapura untuk melanjutkan S-2.

Netra berpupil cokelat bening itu mengedarkan pandangan ke seluruh kafe. Kafe yang sudah berdiri lebih dari satu setengah abad itu memiliki konsep tempo dulu, tetapi tetap terkesan modern. Tempatnya tak terlalu luas, tetapi terdapat dua lantai. Meja dan kursi pun ditata saling berdekatan karena ruangnya yang terbatas. Banyak gambar dan lukisan zaman dulu dipajang di beberapa titik. Lampu pijar berukuran besar menggantung di langit-langit. Cahayanya yang temaram membuat suasana di dalam kafe semakin hangat.

Satu per satu kenangan mulai mengusik ingatan, terus berputar-putar di benak kepala. Baskara masih ingat, ketika masih kuliah dulu, dia dan Pelita sering pergi ke kafe tersebut untuk mengerjakan tugas bersama atau sekadar nongkrong. Dia pun masih ingat menu kesukaan Pelita yang sering dipesan oleh perempuan itu.

"Bas?"

Suara lembut yang tak asing lagi di telinganya itu membuyarkan kenangan yang masih bercokol kuat di dalam ingatan. Baskara menoleh ke belakang. Tubuh lelaki itu seketika membeku. Tiba-tiba, panas menjalar ke seluruh tubuh, pun jantungnya berdegup semakin kencang saat Pelita menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang dia rindukan selama lima tahun terakhir.

"Li-Lita?" Suara Baskara tersekat di tenggorokan hingga membuat lelaki itu tergagap-gagap.

"Kamu udah nunggu lama?"

"Enggak, kok. Baru aja sampai." Baskara berusaha mengulum senyum, meski terlihat kaku. "Duduk, Lit," titahnya yang diangguki oleh perempuan cantik berkerudung army itu.

***

"Kita selfie-selfie dulu yok sebelum pulang," ajak Ayu sembari mengangkat ponselnya tinggi-tinggi agar mereka berempat bisa terekam dalam gambar.

Kafe tempat mereka mengopi memang memiliki interior yang Instagram-able karena mengusung konsep zaman dulu. Sayang sekali kalau tidak diabadikan dalam potret, kemudian diunggah ke media sosial. Bukankah itu sudah menjadi rutinitas masyarakat zaman sekarang?

Setelah berswafoto, Ayu menggulir layar ponsel, melihat satu per satu hasil foto tadi. Kalau-kalau dirinya terlihat jelek, dia bisa meminta untuk berswafoto lagi. Perempuan bermekap tebal itu tersenyum puas. Wajah dan posenya dalam foto-foto tersebut terlihat memuaskan.

"Gimana hasilnya?" Puput menyesap ice cappucino-nya, kemudian melongokkan kepala untuk menatap layar ponsel milik Ayu. "Ih, gue, kok, kelihatan tembem banget, sih. Hapus aja, jangan di-upload di IG, ya."

"Biarin aja. Yang penting gue kelihatan cantik." Ayu menjelirkan lidah ke arah Puput, membuat perempuan bertubuh gempal itu semakin kesal.

"Dih, curang banget, sih, lo!"

Binar dan Nadia yang menyaksikan perdebatan antara dua seniornya itu hanya bisa tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Eh, bentar, deh." Ayu memperbesar foto yang terpampang di layar ponsel, menatapnya dengan intens, kemudian beralih memandang ke sudut kafe. Sontak, matanya terbeliak saat melihat sesosok lelaki berpenampilan perlente yang tak asing baginya.

"Kenapa, Mbak?" Kedua alis Binar mengerut, menyadari perubahan raut wajah seniornya itu.

Ayu menunjuk ke arah meja yang ada di sudut kafe, tepatnya meja yang ditempati oleh Baskara dan Pelita. "Itu bukannya Pak Kara, ya?"

Tiga pasang mata itu pun langsung mengikuti arah telunjuk Ayu. Mereka terdiam dengan dahi mengernyit. Bukan karena bingung melihat keberadaan Baskara, melainkan karena perempuan berjilbab yang duduk di hadapan lelaki itu. Setahu mereka, menurut desas-desus yang beredar, Baskara belum memiliki pacar. Apa hanya teman? Kalau teman, mana mungkin gelagat mereka seperti baru mengenal, terkesan canggung dan kaku.

Pikiran-pikiran tersebut kini mulai memenuhi benak kepala kaum hawa yang duduk melingkari meja dekat pintu masuk itu.

"Kira-kira, siapa wanita itu, ya?" Pertanyaan Puput mewakili rasa penasaran Binar. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Mata Binar menyipit, merasa familier dengan perempuan berjilbab army itu. Pasalnya, dia hanya bisa memandang punggung perempuan tersebut karena posisi duduknya yang membelakangi mereka.

Saat perempuan berkerudung army itu menoleh ke samping, barulah Binar mengetahui bahwa itu adalah kakaknya, Pelita.

****


Salam,

Myka Fadia

Kembali [Selesai] 👉 INNOVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang