Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.😘
Napas berat diembuskan seorang perempuan berkerudung hitam dengan motif bunga-bunga yang saat ini tengah berdiri di depan pintu sebuah ruangan. Langkahnya tertahan, seakan-akan ada sesuatu yang menahan pergelangan kakinya. Pelita menatap gamang pintu bercat cokelat di depannya sembari menimbang-nimbang sesuatu.
Setelah memantapkan hati, dia mengetuk pintu tersebut, lantas membukanya perlahan saat si empunya kamar sudah memberikan izin. "Umi," panggilnya lirih sembari menyembulkan kepala ke dalam, memandang sang ibu yang sedang melipat mukena. Tampaknya, wanita setengah baya itu baru saja menunaikan salat Isya.
"Lita. Sini, masuk." Umi Maira menyunggingkan senyum lebar, seakan-akan tak memiliki beban apa pun. Padahal, tadi sore, setelah kepergian Wisnu, wanita itu menangis dalam diam, meratapi nasib malang putrinya. "Ada apa, Nak?"
Lita melangkahkan kaki menuju ranjang berukuran king size itu, lantas duduk di sisi ranjang, bersebelahan dengan Umi Maira. "Umi baru salat?" tanyanya berbasa-basi. Senyum tipis terpatri di bibir yang terpoles lipbalm.
"Iya. Aruna mana?"
"Udah tidur, Mi," sahut Pelita yang direspons dengan anggukan oleh sang ibu. Kemudian, dia terdiam, tak tahu harus memulai obrolan dari mana. Alhasil, perempuan itu hanya meremas jari-jarinya sambil menundukkan kepala.
Menyadari gelagat sang putri yang terlihat gelisah, Umi Maira pun berinisiatif membuka pembicaraan terlebih dahulu. "Kenapa, Lita? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Pelita mengangkat kepala, tertegun karena tebakan sang ibu yang begitu tepat sasaran. Sepertinya, insting seorang ibu tak bisa diragukan. Pelita juga menyadari hal itu semenjak menyandang status sebagai ibu dari satu anak. Instingnya begitu kuat. Pun, perasaannya menjadi sangat peka. Ketika Aruna marah, sedih, atau senang, dia langsung mengetahuinya dari raut wajah anak itu. Kala Aruna menyembunyikan sesuatu atau tengah menghadapi masalah, Lita langsung tahu dari gelagatnya.
"Mi, Lita bingung. Apa yang harus Lita pilih, Mi? Satu sisi, Lita enggak bisa nerima pengkhianatan yang dilakukan Mas Wisnu. Apalagi, wanita selingkuhannya sedang hamil sekarang. Di sisi lain, ada Aruna yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Lita harus gimana, Mi?"
Wanita setengah baya itu meraih tangan sang putri untuk digenggam. Ditepuknya punggung tangan Lita dengan lembut. "Lita, semua pilihan ada di tanganmu. Kamu yang menjalani pernikahan ini. Sedih, susah, senang, semua kamu yang menjalani. Kalau kamu sudah telanjur sakit, ya, jangan dilanjutkan. Percuma melanjutkan pernikahan kalau salah satu dari kalian sudah mengkhianati janji suci yang telah terikrar. Pasti, akan ada rasa curiga yang terus menghantui kalian setiap saat. Akhirnya, tidak akan ada lagi kepercayaan yang melandasi rumah tangga kalian.
"Masalah Aruna, dia bisa saja tinggal secara bergantian dengan kita dan papanya. Suatu saat nanti, Aruna pasti akan mengerti. Meskipun, ini terdengar egois, tetapi semua demi kebaikannya. Umi takut kalau Aruna akan merasa tertekan jika terus-menerus mendengar dan melihat kalian bertengkar."
Kepala Pelita terdengak, mencoba menahan agar bulir bening di pelupuknya tak terjatuh. Dia menghela napas panjang untuk meredam sesak yang mulai berjejal-jejal di dalam dada. Alih-alih berkurang, sesak itu semakin menjadi-jadi hingga meluruhkan air mata yang sedari tadi berusaha dia tahan.
"Umi mendukung semua keputusanmu, Lita. Kalau kamu masih ragu, salat istikharah. Insyaallah, Allah akan menunjukkan pilihan yang benar."
Pelita mengangguk dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. "Iya, Mi."
***
"Kopi."
Segelas kopi hitam peka yang masih mengepulkan asap tersodor di hadapannya. Binar menatap gelas tersebut sekilas, lantas memalingkan muka ke samping dan mendapati Raymon menyunggingkan senyum semringah.
Perlahan, Binar menerima gelas porselen tersebut, menggenggam sisi gelas untuk menghantarkan kehangatan ke sekujur tubuh. "Thanks, Bang," ujarnya tulus, kemudian menyesap kopi tersebut setelah menghirup aromanya dalam-dalam dan meniupnya pelan. Lalu, melayangkan pandangan ke arah karyawan yang berbaris rapi untuk mengambil makan siang. Saat ini, mereka tengah berada di ruang makan hotel untuk menghabiskan waktu istirahat.
"Kamu juga harus mengurus diri sendiri, Nar. Sejak tadi pagi, kuperhatiin kamu kayak mayat hidup," ungkap Raymon selepas menyeruput kopinya. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati perpaduan pahit dan manis yang bercampur menjadi satu dalam cairan hitam pekat itu. Kemudian, kepalanya menoleh, menatap wajah ayu Binar dari samping. "Kamu ada masalah, Nar? Kok, dari tadi diem aja? Apalagi, tiba-tiba kamu minta gantian sama Nadia untuk jadi PJ di ruang dua."
"Hah?" Perempuan berambut sedada itu terkesiap. Sepersekian detik kemudian, kepalanya menggeleng. Senyum yang sedikit dipaksakan ia sunggingkan di bibir. "Itu ... eng-enggak, kok, Bang. Aku baik-baik aja."
"Oh, ya, gimana keadaannya tante?" tanyanya, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Raymon menghela napas panjang sebelum akhirnya membalas, "Alhamdulillah, kondisi mama kembali normal, meskipun belum sadar. Aku berharap, dalam waktu dekat ini, mama sudah sadar. Aku pengin menunjukkan sesuatu sama mama."
Dari samping, Binar menatap wajah Raymon yang terlihat sendu, lantas menepuk bahu kukuhnya pelan. "Tante pasti akan sadar, kok, Bang. Abang yang sabar, ya."
"Binar, bisa kita bicara sebentar?"
Suara bariton milik seseorang menginterupsi percakapan Binar dan Raymon.Sontak, keduanya mengalihkan atensi ke arah lelaki berpenampilan perlente yangberdiri tak jauh dari mereka.
***
Jelas banget, ya, siapa laki-laki itu? Kira-kira Baskara mau bicara apa, ya?👻
Yang punya Cabaca dan Dreame, jangan lupa follow akun 'Myka Fadia', ya. Jangan lupa baca ceritanya, juga.🙊
Salam,
Myka Fadia
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [Selesai] 👉 INNOVEL
Ficción GeneralMeski mendapati dirinya tengah hamil, Binar Rembulan justru melarikan diri alih-alih meminta pertanggungjawaban dari ayah si jabang bayi. Melihat kehancuran rumah tangga umi dan kakaknya, membuat Binar tak mau terikat dengan pernikahan karena tak in...