Happy Reading ")
••Pagi, hangat, nyaman. Tiga hal itu sedang berputar di pikiranku. Aku hampir bisa membuat sajak dengan tiga kalimat itu. Tapi, semuanya sirna saat sang pengganggu datang.
"Nara! Apa kamu sudah menentukan kelompok untuk tugas sosiologi?" Perempuan itu berbicara sembari menggeser kursinya mendekat kearah ku.
Sosiologi? Sejak kapan pelajaran itu ada? Aku mengabaikannya dengan menoleh kearah yang berlawanan.
"Hei.. Nara..! Aku sedang bicara.. apa kamu tak mendengarnya?" sambungnya dengan mendekatkan wajahnya padaku. Liar.
Aku tak menjawabnya. Tanpa sadar, kini ia sudah berada di depan mejaku. Dia duduk di kursi depan mejaku yang sedang kosong.
Ia menaruh dagunya di kedua tangannya dan memperhatikanku. Menjengkelkan.
Tanganku turun, lalu aku menoleh kearahnya.
"Apa?" Suara yang keluar dari mulutku sangat pelan dan berat. Perempuan itu terdiam tak bergerak, bahkan aku tak melihatnya bernapas.
Menyebalkan.Untuk apa aku harus berbicara padanya? Semua orang sedang menentukan kelompok untuk tugas sosiologi. Seperti biasanya, pintar dengan yang pintar. Dan begitu pula sebaliknya.
Aku ingin bertanya lagi, Apa itu teman? Apakah teman itu orang yang membantu mengerjakan tugas saat belajar kelompok? Kalau seperti itu, aku punya laptop yang bisa membantuku kapanpun. Tentu saja, ia ikut bekerja.
"Hei! Dengarkanlah saat ada orang yang berbicara padamu..!" Perempuan itu memasang wajah marah. Memang apa yang kulakukan? Aku salah? Jawab aku di kolom komentar.
Aku menoleh lagi padanya. Wajahnya terlihat marah. Apa marahnya perempuan selalu seimu—, maaf, seseram ini? Aku baru melihatnya.
"Jadi, apa kamu sudah punya kelompok untuk tugas sosiologi?" Perempuan itu sudah menanyakan hal yang sama dua kali.
Apa aku terlihat seperti sudah punya kelompok? Kenapa dia harus bertanya?
"Tidak ada." Mulutku bergerak sendiri lalu diikuti oleh suara berat. Kenapa aku menjawabnya?
Perempuan itu tersenyum, "sudah ditentukan. Kita akan satu kelompok!" dia mengatakan itu dengan sangat semangat. Memang apa bagusnya satu kelompok denganku?
Mataku melirik ke segala arah dan terdiam saat melihat pojok kanan depan. Seorang perempuan berambut pendek dengan hiasan yang berada di rambut kanannya, sedang melihat ke sini.
Aku membalas tatapannya dan ia menyadarinya. Ia pun berlari keluar. Aneh.
••
Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Lelah. Inginku baringkan tubuh ini di kasurku yang empuk. Membayangkannya saja sud—.
"Nara! Tunggu!" teriak seseorang dengan suara yang tak asing. Langkah kaki ku terhenti, aku pun menoleh. Perempuan itu. Ya, dia lagi.
Ia menghampiriku dengan ekspresi khawatir. Apa yang dia lakukan?
"Ah ... aku ... masih sempat," ucapnya dengan napas yang terengah-engah. Dia mengangkat kepalanya lalu menggenggam kedua tanganku.
"Aku tahu kamu anti sosial. Jadi, aku akan menjadi teman pertamamu!" Ia berkata seperti itu dengan wajah yang menyedihkan. Ekspresi yang paling ku benci.
Entah kenapa, hati manusia pasti tergerak karena ekspresi itu. Ia masih menggenggam tanganku. Kami jadi pusat perhatian. Agh.. aku benci ini.
"Hei.. lepaskan tanganku," ucapku pelan. Dia menggelengkan kepalanya dan mempererat genggamannya.
Ramai. Sangat ramai. Kami dikelilingi oleh murid yang haus akan informasi.
"Lakukan sesukamu. Lepaskan tanganku." Aku mengucapkan itu sembari melepaskan tanganku dari genggamannya secara paksa.
Berbalik dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Aku hampir sampai di gerbang. Semua orang menatapku dengan tatapan yang mengerikan.
"Nara!!" teriak perempuan itu. Langkahku terhenti lagi, lalu menoleh kearah nya.
"Aku akan menjadi teman pertamamu!! Tak peduli kalau kamu menolaknya!!" sambung perempuan itu.
Beberapa orang yang sedang menyaksikan kejadian ini memasang wajah tidak puas. Memangnya kalian kira ini apa? Pernyataan cinta? Bodoh.
"Aku takkan menyerah untuk menjadi temanmu!!"
Hei.. berapa lama lagi aku harus terdiam seperti ini? Cukup sudah kau mempermalukanku! Menyebalkan.
Tanpa memperdulikannya, aku melanjutkan perjalananku. Baru kali ini aku dipermalukan seperti ini. Ah.. mungkin aku punya phobia.
••
Aku sampai. Membuka pintu rumah lalu melepas sepatu.
"Aku pulang," ucapku sembari melepas sepatu. Ibu berjalan menghampiriku dari ruang keluarga.
"Selamat datang.. bagaimana hari ini? Apa kau berbicara dengan orang lain?" ibuku menanyakan itu dengan wajah antusias. Aku menaruh sepatuku di rak, lalu berjalan ke arah tangga.
"Yah ... seorang perempuan meminta agar aku menjadi temannya," ucapku menoleh kearahnya dengan berjalan menaiki tangga. Ibuku terlihat sangat terharu.
Kenapa ibuku memasang ekspresi seperti itu? Padahal hanya hal sepele. Dan aku belum melupakannya, aku tak butuh teman.
••
🍵Wah.. terimakasih sudah membaca Part 3 ini.
🍵Jangan lupa, tinggalkan jejak kalian dengan Vote dan komen AKA votment.
👋See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lone Wolf*
Teen Fiction*Diangkat dari imajinasi seorang penyendiri. Cerita ini mengisahkan seorang lelaki penyendiri yang selalu menutupi kelemahannya dengan berbagai alasan. Dia selalu merasa tak membutuhkan orang lain selain orang tuanya, dan karena itulah dia di cap se...