Hitam Pahit Brownies (1)

11 1 0
                                    

Aku senang disini. Pagi yang cerah. Telur ayam negeri biasa sudah ada dimangkuk aluminium, bersama tepung terigu, cokelat bubuk, mentega, dan telur. Adonan yang sempurna, diaduk terus-menerus dengan kecepatan dan kekuatan yang pas. Dapur mungil yang bersih, dengan jajaran loyang, dan oven panas yang siap memunggu. Cahaya biru pagi yang cerah. Ah, kurasakan kedatanganku yang kuat!
  
Keringat menetes.Sesekali ia melirik ke sebuah foto kusam, seorang perempuan dengam paras Jawa, cantik dan anggun:ibunya. Terdengar suara'ting!'
  
Oh,itu aku ada dalam Brownies, yang keluar dengan sempurna. Kue cokelat, tidak mengembang, yang menggairahkan!
 
Tidak sabar aku masuk kembali kedalam oven, dalam bemtuk masih cairan, bercampur dengan bahan - bahan dasar lain. Karena apa? Aku ingin semua orang merasakan, bahwa karena aku keajaiban rasa ada. Demikian nikmat,bukan sekedar lezat. Menggoyahkan lidah, melenyapkan hati yang resah....
Akhirnya, aku masuk ke dalam oven lagi.

"Kriiing!" Laki-laki yang  menghadirkan aku tadi mengangkat telepon selularnya.
 
"Hi Ki.Iya, iya. Sudah siap diambil Browniesnya."
  
Masih kulihat ia mengaduk lagi, adonan yang lain, membuat diriku  multiply, memecah diri, menjadi bagian- bagian dari setiap Brownies-nya.Kurasakan hati yang murah, dan  kehadiranku yang mudah. Kepadanya aku berserah, untuk disertakan pada pembuat Brownies yang dimakan pasrah. Oya, laki-laki itu biasa dipanggil Are.

                        《☆☆☆》

Aku tidak disini. Tapi aku melihat.
Perempuan cantik itu membuka kotak kecil berisi potongan Brownies.
"Hm... dari Singapura, pasti rasanya berbeda." demikian yang dipikirkannya.

Ditutupnya kotak kue tadi dengan senyuman, kini diperhatikan jari manis kirinya. Diputar-putarnya cincin platinum berlian yang melingkar di sana. Agak kebesaran, jadi bisa diputar-putar dan bergerak leluasa di jari itu. Brownies dan jari tadi adalah milik Mel.
 
Mel adalah perempuan masa kini. Cantik, cerdas, kosmopolitan. Seorang Creative Director, sevuah perusahaan agen iklan internasional yang bercabang di Jakarta. Kariernya menanjak, menukik tinggi seperti pesawat yang selalu melesat membawanya dari satu negeri ke negeri lain mendatangi para klien.

Seperti sekarang, ia baru kembali dari Singapura. Duduk di kelas bisnis, seorang Bapak Cina, mestinya bos dari perusahaan karena gayanya yang perlente--kemeja dan dasi bermerek, serta laptop di pangkuan-sesekali melihat data di komputer, tapi kemudian mengucek mata dan mengambil majalah bisnis. Berhenti dengan komputernya, kini ia asyik membaca salah satu rubrik bisnis.

Mel sendiri asyik melamun seraya memandangi pigura perak kecil berisi fotonya dan sang tunangan. "Oh Joe, nantikan aku segera ya," bisiknya dalm hati.
 
Joe, oh Joe. Pria ini yang membuatnya mengatakan, "Ya." Bagaiman tidak? Dari fisik, Joe sudah melewati apa yang Mel harapkan. Berwajah bule, dengan hidung mancung, kulit putih, dan rambut hitam tebal. Maklum, ayah ibu dari Jerman, walau konon neneknya masih punya darah Jawa. Mata biru itu, duh benar-benar mirip Pierce Brosnan, versi mudanya. Ya, wajah dan fisik Joe cocok jadi James Bond di film terbarunya nanti.

Soal baik?Hm... Mel merenung. Yang penting, Joe mencintainya. Memang bukan salah Joe jika perempuan berhinggapan ke pundak tunangannya. Bukankah Joe memang seperti bunga, dan perempuan-perempuan lain itu lebahnya? Mel tidak menyalahkan. Berkali- kali Mel mendengar berita itu, bahwa Joe dengan si ini, dengan si itu. Tapi Mel tahu, Joe miliknya.  Buktinya? Cincin yang ada di jari manisnya.

"Joe...." Tanpa sadar Mel bergumam. Kerinduan selama beberapa hari itu terasa sudah. Ingin rasanya ia lari ke hamburan Joe, menciuminya, dan hilang segala lelah.
 
  "Nice fiancé, isn't he?"

Mel tersedak, dan menengok. Dengan malu-malu ia tersenyum dan mengangguk. Bapak itu pasti memperhatikan tingkahnya, melihatnya memain-mainkan jari manis dengan cincin berlian itu,  dan memandang fotonya dengan Joe seperti tatapan bahagia.

BROWNIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang