Hitam Pahit Brownies (2)

4 1 2
                                    

"Hai Di!"

Di sisi lain jakarta, perempuan lain mengangkat telepon selularnya. Gaya yang berbeda, jika Mel si perempuan kosmopolitan, maka Didi adalah ia perempuan etnik pemilik butik. Bersarung dan berkaos dengan rambut di sanggul cepol, ia tahu pasti itu suara sahabatnya, Mel.

"Hai Mel! Baru nyampe? Gue barusan baca lo di Majalah Bisnis. Selamat ya."

"Eh itu ya? Hehehe, thanks Di!"

"Siapa yang jemput lo? Joe?"

"Gak lah. Masa lo lupa. Ini kan hari ulang tahunnya!"

"Oh iya. Dasar Miss Surpise! Dapet apa dari Singapur?"

"Hahaha, dapat banyak lah, namanya juga tempat belanja. Dapat tas buat lo. Jangan protes dulu, tapi ini tas bukan dari Itali kok, gue kan tau lo suka yang etnik, jadi gue cariin yang khas peranakan Singapur gitu...."

"Thanks. Terus bisnis lo?"

"Itu beres! Tapi yang pasgi lo mesti tanya gue dapat apa lagi Di!"

"Lo dapat apa lagi Mel?"

"Resep Brownies Di!"

"Ya itu juga di sini ada...."

"Hush! Ini lain! Gue dapet dari klien gue yang juga punya butik pakaian di daerah Orchard, kayak lo, tapi juga jual Brownies. Disebutnya butik Brownies. Rasa madu Di! Brownies istimewa! Pasti beda dan enak! Gue bawa contohnya...."

"Siapa yang bikin, si pemilik apa lo?"

"Sialan! Pokoknya cobain dulu deh,"

"Liat entar ya...."

"Elu!"

Didi geleng-geleng, tersenyum, dan menutup teleponnya. Mel, Mel, sampai kemanapun di otaknya selalu ada Brownies. Brownies. Brownies. Brownies.... melulu! Ditengah kerja, ia memang konsentrasi, tapi si Brownies tetap hadir, selau dibawa ke rekan-rekan kerja untuk dicicipi. Hampir setiap bertemu dirinya pun, si Brownies selalu dibawa dan jadi topik pembicaraan. Entah kenapa ia memilih Brownies. Dan entah kenapa ia penasara. pada Brownies.

"Mbak, interlokal dari Padang di saluran 4. Penting katanya!" teriakan Ningsih, sekretarinya ruang sebelah menyadarkan Didi.

Didi menepuk jidatnya. Wajahnya berubah kesal. "Aduh, Bunda!"

                      
                       《☆☆☆》

Aku selalu ada, tapi aku tidak tahu bagaimana 'hinggap' di diri Mel. Perempuan berambut panjang, berwajah bulat lucu itu memang sungguh cantik, dan memiliki aura cinta pada Joe. Tapi aku menolak untuk mendekat. Seperti sekarang, melihat Mel yang segera meluncur ke apartemen Joe dengan mobil Mercedesnya setelah pulang menaruh tumpukan koper Louis Vuitton-nya.

Mel membawa kado berisi Brownies, khusus dari Singapura untuk Joe. Mel membayangkan Joe, tunangan tersayang. Apa yang akan terjadi , ya? Joe akan sangat terkejut, dan pasti kemudian menciumi dirinya, dan mereka akan makan di restoran, lalu berdansa dengan romantis. Tahun lalu mereka makan di restoran, hampir tiap tahun sebenarnya demikian. Mel merenung, seharusnya tahun ini lebih istimewa. Apalagi di ulang tahun ke depan, bisa jadi Joe sudah jadi suaminya. Bukankah mereka akan segera menikah akhir tahun ini?

Mungkin setelah memberi Brownies ini, sebaiknya Joe diberi hadiah tak terlupakan. Tidak harus mewah, bisa jadi sederhana, tapi akn diingatnya terus. Harus sesuatu yang melibatkan mereka berdua. Mel terus berpikir keras, dalam situasi begini, posisi Creative Director seperti tidak berarti. Ide-ide cemerlang seperti mati. Mel seperti bekerja keras dua kali, hm... apa ya? Apa?

BROWNIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang