Di sebuah sore yang temaram. Dimana matahari menyingsing perlahan-lahan dengan gerak dramatis, Nana memandangi berkas-berkas cahayanya yang muncul di antara dedaunan. Sesekali ia akan menyipit karena kedatangan cahaya itu seolah-olah ingin mencolok matanya. Lalu setelah itu, ia menarik napas panjang. Ada rasa ngilu saat paru-parunya mengempis.
Dulu, Sastra pernah berkata sesuatu padanya. Ketika mereka pulang dari acara amal kampus, berjalan kaki menyeberangi jembatan penyebrangan yang ramai. Meski sepanjang jalan ia mengomel sebab Susi (nama motor Sastra) tiba-tiba mogok di tengah jalan. Tapi sepertinya Nana tidak pernah menyesali segala hal yang terjadi sore itu. Bagaimana dia dan Sastra melewati remangnya jam 5 sore dengan romantis.
"Kalau soal hidup, cinta saja tidak cukup." kata Sastra sore itu, di saat keduanya mulai menapaki tangga jembatan satu per satu.
"Maksudnya?"
"Sifat manusia itu dinamis. Seseorang bisa berubah kapan aja. Sementara waktu itu relatif. Selama apa pun hubungan yang kita jalani, nggak ada jaminan bahwa perasaan yang seseorang miliki di awal akan tetap sama sampai akhir. Memahami manusia itu nggak cukup setahun dua tahun. Karena seiring berjalannya waktu, seseorang bisa berubah. Makanya, cinta aja nggak cukup."
"Emangnya butuh apa apalagi?"
"Konsistensi? Kepercayaan? Kedewasaan? Rencana? Kerja keras? Pemahaman? Banyak lah."
"Hidup mah tinggal hidup aja kali. Napas buang, napas buang. Ribet bener segala pakai konsistensi." Nana mendengus.
"Kalau ngomongin hidup cuma soal napas, cacing di tumpukan sampah Bantar Gebang juga napas! Masalahnya lo hidup di antara jutaan manusia dengan banyak karakter. Seperti apa yang gue bilang, manusia bisa berubah kapan aja. Dan kenapa gue bilang kalau hidup juga perlu konsistensi, kedewasaan, rencana dan semacamnya, karena itu semua ibarat material yang emang lo butuhin."
"Bangun rumah kali pake material."
Sastra sempat memutar bola mata. Sebelum akhirnya laki-laki itu berdecak dan menempeleng bagian belakang kepala adiknya. Tindakan itu jelas membuat Nana melotot.
"INGAT NGGAK KATA MAMA?? JANGAN MUKUL KEPALA!! NANTI KALAU GUE GOBLOK GIMANA?!!"
"Makanya kalau Abang lagi bilangin tuh jangan ngebantah!"
Nana mendengus lagi, lantas kembali mengayunkan kakinya dengan langkah gontai. Seandainya yang menempeleng kepalanya adalah Cetta atau Jaya, mungkin ia berani membalas detik itu juga. Masalahnya pelakunya adalah Sastra! Sebab Mama selalu bilang, "Nana, nggak boleh kurang ajar sama Abang. Harus sopan sama yang lebih tua, nanti kalau ditiru adek gimana?"
"Ya udah! Jadi gimana?!"
"Sampai mana tadi gue ngomong?"
Nana berdecak. "Konsistensi, kedewasaan, rencana dan semacamnya, ibarat material."
"Oh iya! Jadi, hidup ini kayak membangun rumah buat lo tinggali dalam waktu yang lama. Nah, kalau lo mau bikin rumah, lo bakal bikin rumah yang kayak gimana?"
"Yang pasti nyaman."
"Konsistensi itu kayak batu bata, semennya dari bahan kepercayaan. Rencana bisa lo jadikan pondasi yang kokoh, biar rumah yang mau lo bangun nggak goyah kalau ada badai. Setelah lo membangun pondasi dan dinding, tutup rumah lo pakai atap cinta. Ceilah, romantis bener mulut gue." alih-alih ikut tertawa, Nana justru memandangi Sastra dengan pandangan penuh kengerian.
Ini orang ada masalah hidup apa sih, batinnya.
"Terus pintunya?"
"Pintu itu arus hidup. Lo harus siap didatangi, ditinggal, diterpa panas, diterpa dingin. Itulah kenapa cinta aja nggak cukup. Hidup ini nggak sesederhana itu buat didefinisikan hanya soal cinta."

KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi, 2021✔
Romance[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum sepenuhnya selesai. Beberapa sedih dan sesal masih tertinggal dan membekas dengan baik. Tapi setiap kali Nana mendongak dan menatap langit yan...