Sejak uang ditemukan, benda itu terus terang menjadi definisi mata induk rantai perekonomian. Entah itu seputar rumah tangga, nasional, maupun kelas dunia. Wujudnya tidak lain tidak bukan hanyalah selembar kertas atau koin. Terlepas dari omong kosong petinggi negara menciptakan kartu debit, cek, sertifikat, surat berharga, giro, buku rekening, dan segala hal lainnya yang berbau nilai finansial, angka-angka nol berjumlah satuan, puluhan, atau bahkan ratusan.
Uang sejatinya merupakan tokoh penggerak utama dalam teater "kelangsungan hidup". Ibarat permainan catur, dia berupa Raja; dilindungi prajurit, kuda, benteng, menteri, hingga Ratu sekali pun. Uang bekerja sistematis dan penuh rencana di dalam rantai. Asal muasalnya—katakan saja—dari pajak. Pemerintah menjamin kelangsungan hidup bagi setiap rakyat yang sanggup membayar pajak. Oleh karena itu, mereka akan mencekoki pikiran rakyat supaya membayar pajak dengan dogma: dari rakyat untuk rakyat. Secara teoretis, uang itu kembali kepada kita.
Tapi pertanyaannya, apa rakyat menurut begitu saja saat pemerintah menentukan setiap barang diselipkan senominal pajak walau angkanya satu rupe?
Oh jelas tidak, Marimar.
Rakyat jelas tidak akan pernah menelan mentah-mentah dogma tersebut. Mereka serta mereta menolak. Tidak mau. Mereka hanya menginginkan kehidupan dulu. Kehidupan tanpa pembaharuan. Alasannya simpel: susah beradaptasi.
Atau bisa juga karena kenaikan harga barang membuat keterhambatan dalam mendapatkan sesuatu.
Itu pemikiran yang logis sekaligus realistis.
Lalu apa? gampang ditebak. Esoknya, tetangga-tetangga berkumpul. Desa sebelah mendengar keributan ikut menguping, lalu nimbrung bersama sanak saudara mereka, memanggil orang luar, merambat-merembet sampai antardesa, antarkabupaten, provinsi, pulau, hanya untuk membicarakan masalah sepotong nilai rupe.
Dua jam setelahnya jalanan protokol padat, kendaraan macet total, mobil ambulans di belakang berklakson panjang meneriakan sirine tidak dipedulikan, padahal di dalamnya seorang Ibu hendak lahiran, percuma, semuanya sedang sibuk bertanya-tanya apa yang terjadi di depan sana. Penyebabnya kacangan, rakyat yang tidak setuju memblokade jalan. Memasang spanduk bertuliskan ketidak setujuan, membakar ban di tengah aspal sebagai aksi kemarahan, merusak fasilitas pejalan kaki, berkoar-koar menggunakan toa meneriakan nama-nama pemangku pemerintahan untuk tidak melakukan kebijakan pajak. Hanya karena sopotong nilai rupe? Astaga.
Pemerintah mengeluh di dalam gedung negara. Situasi kacau-balau. Rakyat tidak kondusif. Rakyat terlalu bebal. Apa tindakan yang harus dilakukan? Menuruti keinginan mereka? Mengembalikan perekonomian ke zaman dulu? Tidak. Penasihat ekonomi modern angkat tangan. Tenang saja, rakyat seperti mereka cukup dihalus-lembutkan, tidak perlu digertak. Hanya diberi sedikit pemanis berupa bantuan kepada rakyat membutuhkan, bantuan kepada orang yang habis diPHK, bantuan sekolah roboh, banjir, tsunami, tanah longsor, korban bencana, membangun seribu sekolah, membangun dua ribu kerangka ruas jalan di daerah-daerah terpencil, menyalurkan air bersih dan listrik, menerbitkan kartu-kartu beasiswa, kartu-kartu sembako murah, kartu-kartu jaminan kesehatan seumur hidup serta apalah itu.
Luar biasa, itu ide yang amat brilian. Satu jam setelahnya undang-undang tentang pajak segera turun. Televisi, media massa, koran, tabloid, blog, semua isinya memuat sama tentang pencetusan undang-undang baru ke dalam pasal sekian ayat sekian. Bagi pelanggar yang tidak membayar pajak akan dikenakan sanksi tegas berupa tindak pidana maupun denda yang jumlahnya puluhan kali lipat dari nilai pajak murni.
Keributan sempurna riuh menjadi headline panas penuh kontroversional, rakyat kembali turun ke jalan—kemarahan mereka berdasarkan ketidaktahuan bahwa pemerintah sudah membuat janji bantuan—otoritas kepolisian, tentara angkatan udara, laut, darat, satpol pp, sekuriti, ikut menghalau pergerakan rakyat yang mulai anarki. Melepaskan peluru tembakan peringatan supaya mundur (sayang tidak mempan) Menembak gas air mata dalam kapasitas besar sekaligus (untuk pertama kali satu-dua massa mundur) Polisi mencari otak profokasi sumber kemarahan rakyat yang semakin menjadi. Berhasil. Ketemu. Satu orang? tidak. Dua orang? Lebih. Mereka ditangkap. Diberitakan di setiap stasiun televisi, menjadi berita panas selama tiga hari, disidang, dijebloskan ke penjara dengan hukuman kurung minimal di atas lima tahun.