Mobil ambulan yang kukemudikan memelesat lebih cepat setelah berkelok di tikungan. Suara sirinenya meraung kencang dengan tambahan klakson berkali-kali saat menyalip satu sepeda motor dan mobil bak terbuka, mereka terpaksa menyingkir, menghindari mobil ambulan yang seperti sedang kesetanan membawa pasien.
Sejauh ini, rencana kabur dari petugas kepolisian terbilang berhasil. Namun tetap tidak menjanjikan. Waktuku sempit. Paling lambat sebelas menit mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekali petugas pemadam kebakaran melapor, bahwa tidak ada bagian gedung yang terbakar, maka pengejaran pun dimulai.
Aku teringat sesuatu, segera menoleh ke sebelah. "Lisa, kau bawa ponsel?"
"Untuk apa?!" Lisa berteriak panik. Mungkin karena dua hal: bingung dan takut saat aku mencoba menyalip truk kontainer sampai keluar dari badan jalan.
Aku melempar ponsel dari saku. "Nah, kau copot kartu SIM-nya, lalu tukar dengan milikmu."
Meski masih mengunyah keadaan, Lisa tetap menurut. Dia mengikuti perintah untuk membuang kartu SIM milikku ke luar jendela.
Dan kuraih ponsel tersebut saat Lisa sudah selesai. "Angkatlah, ayo angkat," aku mendesis tidak sabaran, menunggu panggilan terjawab. Satu tanganku memegang setir, sementara satu tangan lagi memegang ponsel.
"Chae, aku Jungkook."
"Jungkook?" nada seberang amat serak, khas orang bangun tidur di malam hari. Aku menghela napas, saat berhasil menyalip dengan selamat.
"Maaf membangunkanmu malam-malam, Chae," aku berbasa-basi. "Kau bisa tolong aku? Keadaan darurat!"
"Hah?"
"Aku tidak sempat—" tanganku menekan klakson panjang saat sebuah mobil menyalip, mengagetkan. Buru-buru kubuka kaca kemudi, melongokkan kepala, memaki amat kencang persis di jendela supir yang terbuka. "OPPAI!"
"Eh, oppai-nya siapa Jung?"
"Kau segera berkemas, berganti pakaian, memakai sepatu serta jaket. Aku butuh kau berada di kantor," aku menyergah pembicaraan. Mengalihkan topik pembahasan.
"Kau gila?!"
"Oh, tentu saja tidak. Kalau aku gila, mana mungkin aku menjadi Bosmu. Lagi pula, mana ada orang gila setampan aku?" Aku menyisir rambut dengan jemari.
"Tentu, aku tahu jam berapa sekarang, Chaeyoung. Sekarang, cepat berangkat. Atau gajihmu kupotong."
Aku segera memutus sambungan, satu tanganku membanting setir saat berhasil menyalip dua mobil sedan hitam. Kuraih ponsel kembali, mencari alamat kontak, menghubungi nomor tersebut. Namun hingga habis nada sambungan, telepon tetap tidak diangkat. Aku mendengus, mencoba nomor kedua. Sia-sia, nomornya di luar jangkauan, tidak aktif. Sekali lagi, kuhubungi nomor pertama. Tiga kali nada sambungan. Tetap tidak diangkat. Aku mengeluh, ini tinggal terakhir, bertepatan dengan itu, pulsa milik Lisa akan habis. "Ayolah, angkat."
"Malam, Jung. Kau sedang tidak mabuk, 'kan? Atau kau insomnia? Atau barang kali butuh penghangat badan di atas kasur. Eh, maksudku selimut baru?"
"Tidak, bukan itu," aku memotong suara mengantuk Xukun— kepala imigrasi negara ini.
"Lalu... hoaem... apa kau butuh fujashi berkualitas tinggi?" Nah, kalau sudah bicara begini, pastilah dia yang mabuk.
Aku mengutuk terang-terangan suara Xukun yang terdengar amat santai. Dengan cepat aku menjelaskan situasi, butuh akses untuk masuk gerbang bandara. Satu hari lalu, surat penangkapanku resmi efektif. Untuk kasus sebesar ini, itu berarti seluruh gerbang imigrasi sudah menerima pencekalan. Komandan polisi di apartemen pastilah akan menghubungi bandara, pelabuhan, terminal, atau titik-titik yang memungkinkan untuk pelarianku.
"Aku tidak bisa, Jungkook." Xukun bersuara, setelah terdiam beberapa saat.
"Kau harus bisa!" aku berseru geram. "Kau bahkan sudah pernah meloloskan buronan-buronan besar ke mana saja."
"Tapi yang ini berbeda, Jung. Ini tentang karierku."
"Peduli setan dengan kariermu! Kau bahkan masih punya tambang emas di pelosok kawasan Asia Tenggara untuk penunjang hidup. Dan lagi, berapa jumlah kekayaan yang kau asuransikan?"
"Bukan itu masalahnya, Jungkook. Aku tidak bisa, posisiku tidak aman."
"Kau harus menolongku!" aku berseru galak, melirik penanda kilometer di sisi jalan, tujuh kilo lagi kami sampai. "Suruh bawahanmu untuk melakukan manipulasi, atau apalah yang biasa kalian lakukan."
"Apa yang kami lakukan? Kami tidak pernah melakukan apa pun." Xukun terdengar tidak terima.
"Cih! Tidak pernah melakukan apa pun kau bilang? Berani perutmu busung?"
"Jungkook, mengertilah—"
"Sekali ini saja, tolong aku. Kau pernah janji bukan, kalau aku berhasil mengenalkanmu pada Sunmi, maka kau akan membantuku dalam hal apa saja?"
"Setidaknya beri aku waktu satu jam—"
"Astaga, aku butuh sekarang, Xukun," kataku kelewat gemas. "Pegang saja janjiku, janji kita, janji orang tampan."
"Kami harus melakukan koordinasi, Jungkook."
"Tidak ada yang perlu dikoordinasikan. Berapa kali aku menyelamatkanmu dari jerat kasus korupsi, hah? Bergegaslah, waktuku bukan menit, tapi detik."
Xukun terdiam sejenak, memutuskan sesuatu. "Baik, Kawan. Beri aku dua menit, aku akan memberimu akses perjalanan beserta tiket dan semua dokumen atas namamu."
"Terima kasih. Aku tahu kau bisa diandalkan." Saat Xukun hendak mematikan sambungan, aku teringat sesuatu. "Eh, kirimi aku pulsa sekalian ke nomor ini."
Ponsel kumatikan—tidak peduli dengan makian Xukun di seberang, mengembalikan benda tersebut ke dalam saku baju, lalu mematikan sirine ambulan. Tentu, dalam keadaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap mobil ambulan yang melaju cepat akan menarik perhatian otoritas.
Aku mengusap keringat di pelipis. Tiga menit berlalu, ambulan yang kami tumpangi segera mengganti arah laju, berpisah dengan gandengan truk kontainer menuju pelabuhan kapal barang. Itu berarti tujuh menit kami lolos, dan semakin lama pergerakan kami semakin didesak waktu.
Aku menginjak dalam pedal gas, mobil ambulan melaju dengan kecepatan penuh menuju bandara. Jalur tol jurusan ini sepi, hanya terlihat satu-dua mobil yang melaju stabil, serta tiang-tiang lampu tinggi yang berpendar di atas aspal. Jika tidak meleset, enam menit lagi kami sampai.
"Sebenarnya siapa kau, Jungkook?" Lisa bercicit pelan, memecah keheningan.
Aku melirik, menghembuskan napas. "Aku turis lampion."
"Bohong," dia menyela. Aku terang-terangan menatap wajahnya lewat kaca sepion kemudi. Lisa menggeleng, balas menatapku di kaca. "Kalau kau turis, mengapa ada puluhan polisi, mobil ambulan, dan... dan semua ini?" suara Lisa terdengar berantakan.
Aku menghembuskan napas, terdiam, tidak menjawab beberapa saat, pegangan tangan di setir kemudi mengendur saat Lisa bertanya demikian. Mobil ambulan menerobos pintu tol keluar. Penjaganya berteriak, bilang aku belum bayar. Aku bergumam pendek, darurat. Tidak pernahkah mereka melihat ambulan ngebut?
Enam ratus meter lagi gerbang bandara terlihat, aku sudah menginjak dalam pedal gas, jarak semakin terkikis, dua menit lebih cepat, mobil sempurna terparkir di area keberangkatan.
Kami berdua sama-sama turun, Lisa membawa dua keresek besar seperti tadi siang. Sementara aku berjalan tergesa menuju meja resepsionis, saat itulah ponselku berbunyi, itu telepon dari Xukun, pemuda tersebut memberikan nomor loket imigrasi yang harus kutuju. "Terima kasih kawan," aku tertawa pelan—akhirnya tawa ini muncul setelah semua ketegangan. "Aku janji, kau akan berkencan dengan Sunmi bulan depan."
Xukun terdengar menumpahkan sumpah serapah. Aku segera memutus sambungan, hendak memasukan telepon, namun urung saat sebuah notifikasi SMS dari operator muncul.
'ONLY FOR YOU! Isi pulsa 100rb dapat cash back lima puluh ribu hanya di IM1'
Aku tertawa lagi. Kubilang apa, Xukun itu memang bisa diandalkan.
***