Keramaian menyambut kedatangan kami di Seoul. Gedung setinggi puluhan meter yang selama sepuluh tahun mengalami tiga kali renovasi dan berpredikat sebagai “markas” petinggi negara itu terlihat dikepung oleh ratusan wartawan dari berbagai macam televisi. Gedung ini jugalah yang selama sepuluh tahun bertahan dari lemparan batu serta suara makian dari mereka—para komunitas—yang menentang kebijakan atas lahirnya undang-undang baru.
Mobil kami merapat menuju lobi. Aku dan Lisa lantas bergegas memasuki pintu yang telah dijadikan sebagai titik temu dengan Chaeyoung. Aku menyeringai diam-diam saat melewati mereka tanpa gangguan. Seandainya para wartawan itu tahu bahwa akulah yang mati-matian menskenariokan banyak dialog untuk kasus Perusahaan Paman Seokjin, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong, berebut posisi paling depan untuk merekam suaraku. Apa kata Paman Seokjin dulu? Orang-orang terlalu gegabah menilai kasus dari kulit luarnya saja. Sekali pandang, mereka hanya mampu menilai dari tampilan. Orang kadang lupa kalau orang-orang yang berpenampilan biasa atau sederhana justru pemegang leher masa depan mereka.
Dari dengus suara yang kudengar, aku tahu isu tentang rapat komite pemutusan bailout hanya menunggu waktu hari ini digelar. Pakar keuangan atau bahkan penasihat hukum dan ekonomi sudah hadir. Dua peserta penting dalam perjalanan pulang dari luar kota—setelah bersantai di lapangan tembak. Beberapa lagi yang turut andil dalam pemutusan rapat juga sudah dihubungi.
"Kau terlambat, Jungkook!"
Wajah dan suara cemas Chaeyoung sudah menunggu kami persis ketika pintu kemudi mobil terbuka. Aku segera melangkah keluar, disusul Lisa kemudian. Gadis yang sudah berganti kostum amat formal tersebut langsung membawa langkah kami menuju meja resepsionis di bagian belakang gedung yang dijaga beberapa petugas dengan badan kelebihan otot. Chaeyoung bertindak tangkas menyebutkan idantitas samaran kami, wartawan dari stasiun televisi ternama pemilik hak istimewa untuk face to face dengan Ibu Menteri. Aku mendengus mengkal. Gadis itu—stafku yang paling gesit—pastilah tidak mengijinkan aku dan Lisa untuk (setidaknya) bernapas.
"Beliau baru saja pergi," katanya.
Kami bertiga sudah berada di dalam lift yang berdesing naik. Lisa dan Chaeyoung berdiri di sebelah badanku. Sekilas dari pantulan sisi lift, aku jadi teringat sebuah potongan lagu “senangnya dalam hati, kalau beristri dua”
Aku menoleh, terkejut, namun tidak menghilangkan kadar ketampananku. "Lantas? Apa gunanya kita ke mari, Chaeyoung? Kita harus segera turun. Kita harus mengejar Ibu Menteri."
Tanganku hendak mengganti tombol tujuan lift jika tidak ditepis Chaeyoung. Ia menatapku ketus. "Ada seorang yang cukup penting untuk mendengarkan pidatomu, Jungkook."
Alisku berpaut bingung. "Siapa?"
Tepat saat itu juga, bunyi denting pelan diiringi pintu lift terbuka memotong pembicaraan. Aku, Lisa, serta Chaeyoung melangkah keluar menuju ruang “Bidak kedua”
"Waktumu tiga puluh menit." Chaeyoung mengingatkan sembari menyerahkan amplop cokelat besar. Kami bertiga persis di depan pintu ruang menteri.
Aku mengangguk, menerima amplop tersebut. "Ini apa?"
"Dokumen, keterangan aset hangus-aset berjalan, deposito-deposito investor yang belum diambil. Ini semua dari Jihyoung."
Aku tertawa, menepuk pundak Chaeoyung. "Kau memang paling bisa diandalkan, Chae."
Chaeyoung berdecih. "Kau selalu bilang itu sejak lima tahun yang lalu, Jung. Tapi apa balasanmu untukku? Setidaknya naikan gajiku bila aku benar-benar bisa diandalkan."
Aku tertawa kecil sambil memegang kenop pintu. "Setidaknya kau bisa menikmati wajah tampanku, bukan?"
"Nasib sial sekali menjadi stafmu, Jungkook. Harus menghadapi bos super pelit lengkap dengan kepercayadirian seperti orang tidak waras yang mengaku dirinya ini dirinya itu."