Nol koma dua persen penduduk bumi menguasai dunia. Keluarga kami pernah menduduki posisi itu. Di mana saat semua kebutuhan dijamin oleh segepok uang, tidur nyenyak dengan selimut tebal, tidak memusingkan harus makan apa besok, membodohi orang-orang gila jabatan, memeras tetangga, teman, orang-orang asing dengan tajuk tabungan berbunga.
Apa kami peduli soal kemiskinan? Sama sekali tidak.
Apa yang harus dipedulikan? Kemiskinan daya rusaknya itu-itu saja. Lihat di sekeliling rumahmu, desa, komplek perumahan, atau paling luas negara ini. Apa yang ditimbulkan dari menurunya diagram perekonomian? Paling pengangguran.
Bayangkan seluruh desa tempatmu tinggal dipenuhi pengangguran. Kejahatan yang terjadi hanya level rendahan. Mabuk-mabukan, pencurian, tawuran, serta banyak lagi. Mereka kaum primitif, hanya punya pikiran untuk bersenang-senang, makan, dan tidur. Kaum seperti mereka jelas tidak punya visi-misi, tidak membahayakan orang-orang besar. Sekali kejahatan mereka menimbulkan kerugian bagi orang-orang besar, tinggal diusut, tangkap, jebloskan ke penjara, beres.
Tapi bayangkan jika seluruh desa tempatmu tinggal dipenuhi orang kaya, tidak ada orang miskin, tidak ada kaum primitif. Kejahatan yang ditimbulkan justru level dewa. Tentu bukan selugas artinya. Mereka punya visi-misi—oh jelas, lihat saja gelar pendidikan mentereng di ujung nama—punya strategi untuk memperluas wilayah, memiliki pikiran yang sistematis, bukan hanya tentang bersenang-senang, makan, tidur, tapi juga ambisi besar. Nah, bayangkan lagi jika kau hidup di antara mereka, pahitnya, lakonmu adalah seorang penadah (bahasa kasarnya orang miskin) tentu mereka akan menyuruhmu ini-itu. Mereka punya uang untuk mengatur, mempunyai wewenang untuk perpanjangan wilayah, bisa melakukan apa saja termasuk menguasai dunia.
Uang bisa membuat orang kesetanan.
The Money is God atau The Money is Demon?
Persetan!
Andai—sebut saja—Mister Smith tidak datang hari itu, dunia tidak akan mengenal uang, dunia akan selamanya menggunakan ilmu klasik, barter. Ingin motor tinggal ditukar dengan kambing. Ingin makan nasi cukup ditukar dengan ikan.
Ayah dan Tuan Donghyuk—Ayah Taehyung—menggunakan mekanisme sama seperti apa yang Mister Smith lakukan. Mereka berdua mendirikan sebuah koperasi usaha, menempelkan banner di dinding rumah dengan sederet kalimat “Tabungan Simpan-Pinjam Kim Bersaudara”
Konsepnya ringan. Keduanya cukup mengumpulkan uang keluarga sebagai modal. Lalu dipromosikan kepada tetangga-tetangga samping rumah bahwa mereka menawarkan pinjaman dengan bunga kecil, atau tabungan beranak dua kali lipat.
Siapa yang tidak tergiur kalau benda yang dijual adalah uang? Hari itu juga, rumah kami ramai. Lima orang berdatangan, satu-dua menyusul di belakang, dua hari berlalu, hutang kredit simpan-pinjam Kim bersaudara segera melejit. Tanpa batas. Ayah dan Tuan Donghyuk mempekerjakan sepuluh orang sebagai kreditor keliling—tugasnya menarik uang dari peminjam; biasanya dua-tiga kali dalam seminggu—memperpanjang wilayah, sampai akhirnya sukses dengan mendirikan sebuah bank.
"Kau mau seperti Ayahmu, Jung?" Aku ingat saat itu, persis saat aku duduk ongkangongkang kaki di gazebo samping rumah, Paman Seokjin menepuk pundak kiriku.
Aku menoleh, diam, mempersilahkannya bicara.
Paman Seokjin tertawa kecil. "Dunia penuh kejutan, Jungkook. Apa yang kau dapatkan sekarang belum tentu hari besok kau temukan lagi. Ada tiga respon terhadap sebuah pencapaian; hebat, keren, dan waw." Ia mendikteku dengan ketiga jarinya. "Mendapatkan waw itu tujuannya."
Aku memperbaiki posisi duduk. "Bagaimana caranya?" tanyaku.
Paman Seokjin mengetuk dahiku menggunakan punggung telunjuk. "Pakai ini. Kau mau motor, mobil, rumah, belilah dengan ini."