Tubuhku dipelanting telak, jatuh telungkup, berdebam di atas lantai. Jimin menarik kerah belakang bajuku, membantu berdiri dengan paksa. Satu bogem dari bawah dagu membuatku terjungkal, kembali terbanting.
"Masih berani melawan, bedebah?" Jimin membentak, kaki kirinya menginjak punggungku.
Napasku tersengal, mulutku terasa asin—semoga saja tidak ada gigi yang copot. Lisa memekik hebat, menyuruh untuk berhenti. Xukun hanya diam, masih mengunyah keadaan. Sementara para bawahan Jimin berteriak menyemangati, menonton kami bagai sepasang penggulat di atas ring layar kaca. "Habisi dia, Bos! Hajar terus, Bos!"
Jimin semakin menggila, pemuda sialan itu justru menumbuk kepalaku menggunakan popor senapan, membuat seruan antusias semakin menggema di ruang baca.
Aku terkapar. Dengan kondisi tangan yang masih diborgol, rasanya sulit untuk melakukan perlawanan.
Lengang sejenak, suara tawa penuh kepuasan dicampur riuh tepuk tangan perlahan memelan. Jimin menyingkirkan kakinya dari punggungku. Pemuda itu merapihkan rambut, berjalan santai ke arah bawahannya. Salah seorang menyambut kedatangan Jimin dengan mengangkat telapak tangan, Jimin menanggapi, mereka ber-tos. "Hebat sekali, Bos!"
"Cepat bersihkan wajahnya, komandan tidak pantas melihat buronan yang mengaku penjahat dunia ternyata kaum letoi. Setelah itu kita bawa mereka cepat."
Tanpa menunggu perintah kedua, orang itu mengagguk, bergegas mendekat, duduk di atas punggungku, mulai membuka borgol. Aku menyeringai kecil. Inilah yang Jimin maksud sebagai permainan. Popor senapan tadi jelas tidak mengenai bagian kepalaku. Jimin sengaja mengadukannya dengan lantai, dan agar terlihat lebih meyakinkan, Jimin menggoyangkan kepalaku menggunakan kakinya. Kami seorang petarung (walau aku masih amatiran) mudah saja bagi kami untuk berpura-pura. Seolah-olah salah satunya pingsan, padahal tidak. Seolah-olah salah satunya meninju telak, padahal hanya mendorong. Itu trik biasa dalam dunia pergulatan.
Dan begitu tanganku sempurna terlepas, tangan kiriku dengan cepat menyikut rahang seorang yang tadi membukakan borgol. Sepersekian detik selanjutnya, dia segera menyingkir dari tubuhku, jatuh terkapar. Sebuah pistol sudah berada di tangaku, teracung ke arah Jimin dan kawan-kawan.
Mereka turut menodongku, tak terkecuali Jimin.
"Letakan senjatamu, keparat!" Jimin bersungut marah.
Aku mendecih, bergerak semakin maju, membuat mereka semakin waspada.
"Letakan senjatamu atau terpaksa kami tembak!" Jimin membentak.
Aku membuang napas, menurut. Tanpa melepaskan pandangan dari mereka, meletakan pistol milik seorang yang tadi kuhajar ke lantai dengan hati-hati. Lalu berdiri perlahan-lahan, mulai mengangkat tangan.
Tapi tidak benar-benar mengangkat tangan, salah satu tanganku justru mengambil pistol milik Xukun yang kusembunyikan di belakang baju. Dan hanya hitungan detik, separuh dari mereka kuhujani peluru. Mengenai paha, belikat, lengan, serta betis. Mereka segera berjatuhan, bersimpuh sambil mengerang, memegangi bagian tubuh yang berdarah.
Dua orang hendak menembakku, namun mereka kalah cepat. Aku sudah lebih dulu menarik kepala Jimin, membenturkan moncong revolver ke pelipis pemuda tersebut.
"Nah sekarang, letakan senjata kalian." Napasku tersengal. "Letakan senjata kalian atau kupecahkan kepala Bosmu, hah?!"
Dua orang yang siap menembakku mematung. Saling melirik, menatap Jimin, meminta pendapat.
"Cepat letakan, bodoh! Aku serius!" Aku membentak galak.
Jimin (seolah) menghela napas tegang, memberi kode agar anak buahnya menuruti perintahku. "Letakan senjata kalian."