The Nightmare Started

2K 56 13
                                    

Kusisir rambut cokelat bergelombangku di depan cermin. Kupandangi pantulan diriku di depan cermin menggunakan kedua mata hijauku dari atas sampai bawah, lalu kubenarkan poniku yang kurang rapi. Fisikku memang tidak seperti orang Indonesia kebanyakan karena aku adalah anak yang dilahirkan dari orang tua yang berbeda negara. Ibuku dari Indonesia sedangkan ayahku dari Inggris, entahlah, itu yang Ibu katakan tentang ayahku. Aku pun telah tinggal di Indonesia sejak berumur empat tahun dan sekarang aku sudah berumur tujuh belas tahun jadi tidak heran kalau aku sudah mahir berbicara bahasa Indonesia.

Kuputar tubuhku kebelakang dan kupandangi setiap sudut kamarku yang berwarna ungu muda. Di hadapan sebelah kiriku ada kasur dengan selimut ungu tua yang telah kurapikan tadi. Tepat di samping kanan kasur ada lemari pakaian berukuran besar dengan warna yang sama dengan selimut kasurku. Di samping kiri kasur ada beberapa lemari kecil yang disejajarkan dengan formasi memanjang dengan beberapa pot tanaman di atasnya untuk menambah kesegaran di dalam ruangan. Lemari-lemari kecil itu terletak tepat di bawah rak yang berisi beberapa patung-patung kecil berbagai bentuk dari plastik. Tak lupa, di sebelah kiri rak ada jendela agar aku bisa mendapatkan udara dari luar. Baik lemari kecil, rak maupun cat kamar semuanya berwarna ungu, kecuali jendela. Dekorasi kamarku memang didominasi oleh warna ungu dan belum berubah semenjak aku berumur tiga belas tahun.

Aku pun tersenyum lalu kuambil tas berwarna ungu di sampingku dan segera keluar dari kamarku. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga dan kudapati ibuku sedang menyiapkan sarapan dibantu kakakku satu-satunya, Devon. Sebenarnya Devon itu kakak kembaranku yang lahir lima menit lebih dulu. Devon berambut cokelat tapi lebih gelap dariku dan dia bermata hijau juga sepertiku, hanya bentuk mukanya lebih tirus juga tingginya lebih tinggi daripadaku, tentu saja karena dia laki-laki. Alhasil, tinggiku hanya setinggi pundaknya.

"Selamat pagi semua!" sapaku riang pada Devon dan ibuku. Ibu tersenyum padaku, begitu pula Devon.

"Selamat pagi, Megan," jawab Devon.

"Selamat pagi, sayang," sahut ibu sambil mencium keningku.

Aku pun langsung duduk di tempatku seperti biasa. Meja makan kami berbentuk persegi panjang dengan lima kursi. Dua masing-masing di samping barat dan timur, sedangkan satunya ada di utara. Kursi yang di utara tidak pernah kita tempati karena Ibu melarangnya. Ibu bilang itu kursi punya ayah dan ibu tidak mau siapapun untuk menempati kursi itu. Agak berlebihan memang. Sudah berkali-kali aku bertanya tentang keberadaan ayah tapi ibu selalu tidak menjawabnya. Ayahku masih hidup atau sudah mati? Entahlah.

"Hari ini kalian pulang jam berapa?" tanya ibu pada kami.

"Seperti biasa, bu, jam tiga, ya kan Megan?" Devon yang menjawab lalu mengalihkan pandangannya padaku.

Aku mengangguk sambil melahap pancake.

Aku memerhatikan ibu yang sudah rapi dengan kacamata bertengger di hidungnya. Ibuku adalah seorang Menteri Hukum dan HAM Indonesia. Walaupun ia sedang makan, terlihat bahwa sebenarnya ia sedang memikirkan sesuatu. Aku sering khawatir dengan ibu, semenjak menjadi menteri, ibu selalu sibuk. Jarang ada waktu dirumah. Tapi sekalinya ada di rumah, ibu selalu meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan kami walau kami punya pembantu di rumah. Aku takut ibu sakit.

"Anak-anak, kalian tahu kan kalau Indonesia sudah bekerja sama dengan Amerika bertahun-tahun lamanya?"

Ya. Sekarang tahun 2025. Sudah beberapa tahun belakangan ini Indonesia sudah bekerja sama dengan Amerika dalam berbagai bidang. Ibu selalu menceritakan tentang keadaan Indonesia terutama yang berhubungan dengan Amerika. Awalnya aku tidak peduli. Tapi semakin tahu, semakin didengar semakin menarik.

Ibu menarik nafas. "Dan kalian tahu kan Indonesia semakin lama semakin liberal? Sepertinya pancasila sudah semakin dilupakan untuk menjadi ideologi Indonesia. "Ibu memijit-mijit kepalanya. Pening.

The World War 3 [EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang